REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Sidang kesepuluh kasus dugaan penodaan agama yang menetapkan Basuki Tjahja Purnama (Ahok) terdakwa akan digelar pada Senin (13/2) pagi ini. Sidang dengan agenda pemeriksaan saksi ahli ini dimajukan sehari lebih cepat dari agenda biasanya, lantaran pada Rabu (15/2) merupakan hari pencoblosan pilkada serentak.
"Karena pada Rabu (15/2) pengamanan dikonsentrasikan di TPS, sidang kami majukan satu hari menjadi Senin (13/2)," kata Ketua majelis hakim, Dwiarso Budi Santiarso, dalam sidang kesembilan pekan lalu.
Anggota tim penasihat hukum Ahok, Wayan Sudirta, mengatakan, di sidang kesepuluh jaksa penuntut umum (JPU) rencananya akan menghadirkan empat orang saksi ahli untuk memberikan keterangan didepan majelis hakim, mereka yakni ahli hukum pidana, ahli agama, dan ahli bahasa.
Wayan mengungkapkan, tim penasihat hukum Ahok akan kembali menolak keterangan saksi ahli yang diajukan JPU. Saksi yang ditolak adalah saksi dari MUI dan
"Nggak mungkin independen. Filsafat hukum mengatakan ahli yang punya kepentingan nggak mungkin bisa objektif, karena dia yang buat produk, dia yang terikat dengan itu. Nggak mungkn misalnya hakim menjadi pihak, lalu hakim menggugat orang dia yang mengadili," kata Wayan di gedung Kementerian Pertanian, Jalan Harsono, Ragunan, Jakarta Selatan, Senin (13/2).
Wayan menjelaskan, saksi ahli menurut pasal 1 angka 28 KUHP wajib memberikan keahliannya agar pekara menjadi terang. "Bagaimana dia bisa membuat pekara terang kalau punya kepentingan. Pasti keterangan dia ditutupi atau ditambah makanya kami nggak perlu berdebat dengan saksi itu," katanya.
Adapun, keempat orang ahli yang akan dihadirkan oleh JPU, yakni Prof Dr Muhammad Amin Suma yang merupakan ahli agama Islam, yang melaksanakan tugas menjadi ahli berdasarkan surat tugas dari MUI tanggal 8 November 2016, Dr Mudzakkir yang merupakan ahli hukum pidana, Dr h Abdul Chair Ramadhan ahli hukum pidana, dan Prof Mahyuni ahli bahasa Indonesia.