REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Guru Besar Ilmu Komunikasi Universitas Padjajaran Deddy Mulyana mengatakan, karakter asli masyarakat Indonesia yang tidak terbiasa berbeda pendapat atau berdemokrasi secara sehat, merupakan salah satu faktor mudahnya menelan berita palsu (hoax) yang disebarkan dengan sengaja. Ia berkata, sejak dulu orang Indonesia suka berkumpul dan bercerita.
"Sayangnya, apa yang dibicarakan belum tentu benar. Sebab budaya kolektivisme ini tidak diiringi dengan kemampuan mengolah data. Kita tidak terbiasa mencatat dan menyimpan data sehingga sering berbicara tanpa data. Sedangkan media sosial, sebagai sumber berita hoax, adalah kepanjangan pancaindera manusia,” kata dia dalam keterangan tertulisnya, Kamis (9/1).
Momentum pemilihan kepala daerah merupakan masa paling tinggi dalam penyebaran berita palsu (hoax). Kecenderungan itu tidak saja terjadi di Indonesia namun juga di negara maju seperti Amerika Serikat. Setelah melewati masa tersebut, tren penyebaran berita hoax menurun.
Mantan dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran ini berpendapat, masyarakat kita cenderung senang membahas aspek-aspek yang berkaitan dengan kekerasan, sensualitas, drama, intrik dan misteri. “Politik adalah bidang yang memiliki aspek-aspek tersebut. Tidak heran kalau berita hoax sering sekali terjadi pada tema politik, khususnya saat terjadi perebutan kekuasaan yang menjatuhkan lawan seperti pilkada. “
Menurut Deddy, rendahnya kecerdasan literasi masyarakat Indonesia juga menjadi faktor penyebab hoax mudah dikonsumsi. “Apakah di Amerika tidak ada hoax? Tentu ada, tapi tidak massif seperti kita. Sebab apa, karena mereka telah melewati tradisi literasi sebelum masuk era sosial media. Sementara bangsa kita yang tidak hobi membaca buku ini tiba-tiba dicekcoki dengan banjir informasi di ranah digital. Dan karena sifat dasarnya suka berbincang, maka informasi yang diterima itu lalu dibagikan lagi tanpa melakukan verifikasi," ucap dia.