Rabu 08 Feb 2017 23:19 WIB

AJI: Verifikasi untuk Jaga Kredibilitas Pers

Rep: Umi Nur Fadhilah/ Red: Winda Destiana Putri
Aliansi Jurnalis Independen
Aliansi Jurnalis Independen

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menilai pendataan dan verifikasi perusahaan pers merupakan upaya menjaga kredibilitas pers. Hal tersebut merupakan pelaksanaan Pasal 15 butir 2F, UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang kewajiban mendata perusahaan pers oleh Dewan Pers.

"Kredibilitas pers yang belakangan mengalami degradasi akibat munculnya media sosial dan penggunaan secara serampangan," kata Ketua AJI, Suwarjono dalam keterangan tertulis yang diterima Republika, Rabu (8/2). Kegiatan itu juga merupakan komitmen komunitas pers Indonesia yang tertuang dalam Piagam Palembang pada 9 Februari 2010.

Suwarjono mengatakan, kendati pencanangan verifikasi sudah dimulai tujuh tahun lalu, ternyata masih memicu perdebatan dan juga penolakan. Bahkan, menurutnya, tidak sedikit yang menyebut, verifikasi merupakan upaya "bredel gaya baru". Sebab, tersiar kabar, media yang belum lolos verifikasi terancam tidak akan dibela atau dilindungi Dewan Pers jika sedang bersengketa dalam pemberitaan.

Suwarjono berujar, menyikapi pendataan dan verifikasi perusahaan pers, AJI menyatakan sejumlah sikap. Pertama, verifikasi yang dilakukan Dewan Pers jangan sampai menimbulkan konsekuensi yang justru bisa mengancam kebebasan pers. Misalnya, tak boleh ada pembatasan liputan atau akses bagi pekerja media yang benar-benar melaksanakan tugas jurnalistik. Kendati, perusahaannya belum terverifikasi Dewan Pers.

AJI juga menilai pentingnya Dewan Pers merespon desas-desus yang berkembang di masyarakat dan stakeholder pers saat. Khususnya tentang imbauan pada nara sumber atau instansi pemerintah hanya melayani media yang terverifikasi.

Kedua, perlu ada perbaikan rumusan soal syarat untuk mendapatan verifikasi Dewan Pers. Pengetatan terhadap syarat-syarat itu memang dimaksudkan untuk memastikan syarat minimal media untuk bisa beroperasi secara layak, tetap dipenuhi.

Namun, syarat itu juga jangan sampai menutup peluang bagi tumbuhnya media rintisan (start up), media alternatif, dan media komunitas  yang tumbuh belakangan ini. Rintisan media semacam itu merupakan salah satu cara untuk merawat keberagaman isi (diversity of content), selain merupakan bagian dari kebebasan pers dan kebebasan berekspresi yang itu juga dilindungi konstitusi. Perluasan standar verifikasi, khususnya badan hukum yang mengakomodir produk jurnalistik di luar perusahaan pers, seperti Perkumpulan, Yayasan dan Koperasi.

Ketiga, pendataan dan verifikasi terhadap media ini merupakan salah satu inisiatif untuk menyehatkan pers. Namun, AJI menilai perlu ada perbaikan dalam implementasinya. Menurut AJI, reaksi beragam atas program sertifikasi ini karena kurangnya sosialisasi di komunitas pers.

Gambaran utuh soal program sertifikasi (yang meliputi petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknisnya) juga tak tersedia dengan layak. Oleh karena itu, Dewan Pers perlu duduk bersama stakeholder merumuskan dengan jelas soal verifikasi ini, tujuannya, persyaratan, serta ketentuan detail lainnya. Gambaran jelas soal sertifikasi itu harus disosialisasikan secara luas, termasuk melalui website Dewan Pers.

Keempat, meminta Dewan Pers bersama stakeholder pers duduk bersama merumuskan lebih jelas sejumlah ketentuan dan syarat dalam verifikasi media. Jika diperlukan, ada review ulang terhadap media yang saat ini sudah dinyatakan lolos verifikasi. Setidaknya langkah ini untuk memastikan bahwa ketentuan soal ini dilaksanakan secara konsisten dan teliti. Sebab, inkonsistensi dalam pelaksanaan verifikasi akan berdampak langsung atas tercapai atau tidaknya tujuan dari program ini, mendorong media untuk lebih profesional dan taat kode etik.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement