REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum DPP Pusat Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengatakan, saat ini tidak ada ancaman yang serius terhadap kebinekaan kita. Namun, ada benih-benih yang bisa mengganggu kebinekaan jika tidak dicegah dan kelola dengan baik.
"Dari perspektif sejarah, menjadi bangsa yang rukun, harmonis dan toleran adalah bagian dari nation building. Kebinekaan kita bukanlah sekadar perbedaan identitas dari segi agama, etnis, suku bangsa, dan asal daerah. Lebih dari itu," katanya dalam pidato politik dalam acara dies natalis Partai Demokrat di Jakarta Convention Center, Selasa (7/2).
Bangsa Indonesia, kata SBY, juga majemuk dari segi budaya, bahasa, adat, dan nilai-nilai lokal yang lain. Indonesia juga beragam dalam aliran paham, cara pandang, status sosial, dan pilihan politik dalam kepartaian.
SBY mengatakan, masih segar dalam ingatan ketika Indonesia mengalami konflik komunal yang berdarah. Benturan horizontal itu terjadi di Sampit, Poso, Ambon, dan Maluku Utara. Perlu diketahui, kata dia, untuk mengatasi dan mengakhiri konflik komunal itu diperlukan waktu lima tahun.
"Itupun masih dilanjutkan dengan proses rekonsiliasi dan trust building, yang juga memerlukan waktu yang panjang," ujarnya.
Ia berpesan janganlah bermain-main dengan kebinekaan ini. SBY menegaskan, jika memang tidak ada ancaman, janganlah diembus-embuskan dan dimanipulasi secara politik, sehingga akhirnya benar-benar menjadi masalah.
"Kita harus sungguh berhati-hati. Bermain air basah, bermain api terbakar. Saya sungguh merasakan dan mengetahui, karena sebagai menko polkam, dulu saya ikut menangani dan menyelesaikan konflik-konflik horizontal itu," katanya.
Menurut dia, ada dua kata kunci jika ingin sukses menjaga kebinekaan. Yang pertama adalah toleransi; dan yang kedua tenggang rasa. Toleransi, kata SBY, berarti menghormati perbedaan. Toleransi juga berarti harus bisa mengerti, dan tidak cepat tersinggung atau marah, jika mendengar atau mengetahui sesuatu yang tidak tepat.
Sementara, kata dia, tenggang rasa adalah kemampuan dan kesediaan untuk mengendalikan diri. Ia mengatakan, harus bisa mencegah tutur kata dan perbuatan yang bisa melukai, menyinggung, memperolok, dan merendahkan keyakinan saudara yang berbeda identitas.
"Semua agama dan kearifan lokal mengajarkan cinta dan kasih sayang, dan bukan kebencian dan permusuhan," katanya melanjutkan.