REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jaenudin (39 tahun), nelayan Pulau Panggang, Kepulauan Seribu, menjadi saksi pertama dalam sidang kasus dugaan penodaan agama dengan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang digelar Pengadilan Negeri Jakarta Utara di auditorium Kementerian Pertanian, Ragunan, Jakarta Selatan, Selasa (31/1).
Kepada Majelis Hakim saksi fakta itu mengaku tidak ingat dan memerhatikan isi pidato Ahok saat kunjungan kerja sosialisasi budi daya ikan kerapu di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, yang mengutip surah al-Maidah ayat 51 itu.
"Saya tidak perhatikan Pak (pernyataan surah al-Maidah ayat 51). Saya cuma dengar ucapan kalau ada yang lebih bagus dari saya jangan pilih saya," ujar Jaenudin, saksi dihadirkan jaksa penuntut umum (JPU) itu.
Selain itu, Jaenudin juga hanya mengingat isi pidato Ahok terkait program Ahok pembagian hasil 80-20 budi daya ikan kerapu. Saat ketua majelis hakim Dwiarso Budi Santiarto menayakan inti dari pidato Ahok yang mengatakan bila ada yang lebih bagus dari Ahok jangan memilih Ahok, Jaenudin mengaku tidak tahu inti dari kalimat tersebut.
Nelayan asal Pulau Panggang itu pun baru mengetahui Ahok terjerat kasus dugaan penodaan agama setelah menyaksikan pemberitaan di televisi sepekan setelah kejadian terjadi.
Setelah mengetahui adanya ucapan Ahok yang menyinggung surah al-Maidah ayat 51, Jaenudin menganggap pejawat itu harus segera meminta maaf. "Iya harus minta maaf. Saya bilang kalau ada proses hukum silakan saja," kata dia.
Selain Jaenudin, JPU juga menghadirkan tiga saksi lainya, yakni nelayan Pulau Panggang Sahbudin alias Deni, anggota Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia yang juga dosen Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah (UIN) Hamdan Rasyid, dan saksi ahli bernama Muhammad Nuh.
Baca juga, Jaksa Dinilai Profesional di Sidang Perdana Ahok.