REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ancaman terorisme ke Indonesia, terutama dari kelompok militan ISIS dan Foreign Terrorist Fighter (FTF) semakin nyata di depan mata. Karena itu, instrumen hukum terkait terorisme yaitu Undang-Undang (UU) anti terorisme yang saat ini masih dalam tahap revisi di Pansus RUU anti terorisme DPR RI, wajib segera disahkan menjadi UU dan tidak molor lagi.
"Revisi UU anti terorisme perlu segera dilaksanakan dan tidak usah diperdebatkan lagi. Persoalannya, potensi terjadinya ancaman terorisme terhadap keamanan secara nasional sudah di depan mata. Kalau pembahasan revisi UU Anti Terorisme itu terlalu lama, dikhawatirkan akan banyak lagi kasus terorisme tidak bisa ditangani dengan baik karena tidak instrumen hukum untuk mengatasinya," ungkap praktisi hukum, Dr Suhardi Somomoeljono di Jakarta, Jumat (3/2)
Menurutnya, kelemahan hukum di Indonesia akibat belum disahkan RUU anti terorisme, berpotensi bisa dimanfaatkan oleh kelompok radikal yang anti Pancasila untuk mengganti sistem kekuasaan di Indonesia dengan sistem kepemimpinan imamah atau khilafah. Upaya inilah yang terus dilakukan kelompok ISIS untuk mendirikan negara khilafah dengan menghalalkan berbagai macam cara.
Menurutnya, ISIS adalah bagian dari model kepemimpinan seperti itu dan dikendalikan oleh pihak luar. Meski ISIS pusatnya di Suriah dan Irak, Suhardi menilai, militan pimpinan Abubakar Al Baghdadi mempunyai jaringan internasional yang luar biasa. Ia bahkan bisa memerintahkan pengikutnya untuk melakukan aksi terorisme di negaranya sendiri atau negara lain. Itu dibuktikan dengan serangkaian aksi terorisme di Indonesia yang dilakukan atas perintah Bahrun Naim, anggota ISIS asal Indonesia yang kini berada di Suriah.
Selain itu, fenomena FTF juga harus mendapat perhatian lebih. Bukti bahwa beberapa waktu lalu, ada beberapa warga Uighur yang bergabung dengan kelompok Santoso di Poso menjadi hal yang tidak terbantahkan. Dalam hal ini, pengacara yang juga pakar deradikalisasi dari sisi hukum ini menilai Amerika Serikat jauh lebih antisipatif dalam menghadapi terorisme dengan melarang pendatang dari tujuh negara yang berpotensi teroris ke Amerika.
"Di Indonesia, hukumnya masih sangat lemah dalam menghadapi kejahatan terorisme. Kalau hukumnya (UU) tidak segera diubah dan disahkan, maka tindakan dan perilaku terorisme akan makin tinggi," tukas Suhardi.
Dalam pandangannya, revisi atas UU anti terorisme itu tidak terlalu banyak. Salah satunya mengenai penambahan wewenang Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dalam melakukan penindakan hukum (law enforcement) terhadap pelaku kejahatan tindak pidana terorisme.
"Penegak hukum (BNPT) harus diberikan hak-hak khusus seperti menangkap, manahan, under cover dalam perspektif intelijen, serta hak-hak khusus lainnya seperti tindakan non litigasi dalam kerangka pengentasan kemiskinan bagi para narapidana terorisme," tutur Suhardi.
Revisi UU anti terorisme juga harus memperkuat kelembagaan BNPT di daerah-daerah terutama yang rawan konflik. Yang tidak kalah pentingnya adalah penguatan aspek pencegahan (bina masyarakat) dalam berbagai modus operandi terutama dalam sinergitas dengan dunia pendidikan baik pada sekolah umum maupun sekolah agama. Aspek pengawasan terhadap orang indonesia yang pergi keluar negeri harus mendapat porsi yang proporsional sehingga dapat mendeteksi secara dini adanya potensi kemungkinan adanya orang-orang yang terindikasi sebagai penganut aliran keras yang berpotensi menjadi terorisme.
"Jika UU anti terorisme tidak mengadopsi hal-hal tersebut diatas maka kehadiran UU tersebut ibarat pepesan kosong," tandas Suhardi.