REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Intelijen, Wawan Purwanto menyatakan bahwa sudah ada pembagian tugas penyadapan oleh beberapa lembaga negara. Diantaranya adalah Lembaga Kepolisian, Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Intelijen Negara (BIN). Meski diperbolehkan lembaga-lembaga tersebut mempunyai aturan yang jelas dalam melakukan penyadapan.
"Polri itu penyadapan untuk masalah kriminal, Kejaksaan untuk kriminal juga. KPK khusus korupsi, BIN untuk kemanan, usernya presiden. BNPT untuk terorisme. Ada SOP yang harus dipatuhi dalam pengawasan yang ketat," jelasnya di Kompleks Parlemen, Kamis (2/2).
Kemudian terkait penyadapan yang dilakukan tanpa izin, maka sanksi pidana yang sangat berat telah siap menanti para pelaku. Bahkan para pelaku yang terlibat dalam penyadapan tanpa izin itu akan dikenakan pidana berat, setidaknya 10 tahun penjara.
"Dalam undang-undang ITE penjara 10 tahun dan denda Rp 800 juta. Dalam undang-undang komunikasi 15 tahun," katanya.
Sementara itu, Anggota Komisi I DPR RI, Syaifullah Tamliha mengakui tidak terlalu sulit untuk mendapatkan alat penyadapan, siapapun bisa beli salat sadap. Bahkan disebut saat ini siapapun dapat membeli alat sadap. Serta tidak menutup kemungkinan pengacara, pesaing bisnis juga punya. Maka dari itu, Syaifullah berharap adanya peraturan yang lebih spesifik terhadap pengelolaan penyadapan di republik ini.
"Sebenarnya sudah ada perundangan yang mengatur terkait sarana komukasi, termasuk mekanisme penyadapan itu sendiri. Penyadapan itu diatur dalam undang-undang ITE," ujar Syaifullah.