Kamis 02 Feb 2017 18:46 WIB

Ahok Dipandang Sudah Terpenjara Secara Sosial

Rep: Amri Amrullah/ Red: Indira Rezkisari
Gubernur nonaktif DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok menjalani sidang lanjutan kasus dugaan penistaan agama di Auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta, Selasa (24/1).
Foto: Antara
Gubernur nonaktif DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok menjalani sidang lanjutan kasus dugaan penistaan agama di Auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta, Selasa (24/1).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemuda Muhammadiyah menilai walaupun terdakwa kasus penodaan agama, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok hingga saat ini belum juga dipenjara secara fisik. Namun Ahok secara pribadi telah dipenjara melalui sanksi sosial di masyarakat.

Hal ini disampaikan Ketua PP Pemuda Muhammadiyah Bidang Hukum, Faisal dalam acara Diskusi Publik yang mengambil topik "Akankah Ahok Di Penjara" di kantor PP Muhammadiyah, Kamis (2/2). Diskusi ini merupakan respons dari perjalanan kasus penodaan agama yang sedang berlangsung.

Menurutnya hal ini harus dijelaskan ke publik, bukan merupakan sikap penghakiman melainkan bentuk ungkapan perasaan hukum. Secara hukum, kata dia, pasal 156A yang menyeret Ahok memiliki kepentingan hukum hendak melindungi perasaan hukum dan ketentraman umat beragama.

Selain itu, lanjutnya sifat jahat dari pasal 156A yaitu menistakan dan merendahkan. Jika melihat relasi unsur 156A dengan alat bukti beserta kesaksian yang ada, dapat diduga si terdakwa telah memenuhi unsur kualifikasi delik. Tapi itu semua tergantung dari proses pembuktian dan keyakinan hakim.

Terlepas dari itu semua, menurut Faisal sulit dipungkiri jika si terdakwa telah dipenjara secara sosial. "Jelas aksi jutaan bela Islam ketika itu bentuk sanksi sosial terhadap terdakwa, itu artinya telah dipenjara secara sosial," kata dia.

Ia pun memberi catatan pada proses persidangan Ahok ke depan, setidaknya  majelis hakim dapat mengendalikan proses persidangan sesuai dengan prosedur hukum acara dan menjaga pula kehormatan pengadilan. "Sebab kami melihat sikap dari pihak terdakwa sudah berlebihan bahkan melampaui apa yang menjadi fokus perkara," ujarnya.

Apalagi, pihak penasihat Hukum dan si terdakwa sendiri mengungkap adanya bukti percakapan yang tentu mengarah kepada penyadapan. Dan jelas-jelas itu berpotensi langgar UU.

"Penyadapan tanpa hak itu bisa diproses secara hukum, bukan delik aduan itu," kata mantan aktivis IMM ini. Karena itu, ia meminta semestinya penegak hukum proaktif mengusut kebenaran penyadapan tersebut.

Menurut Faisal, di tengah proses hukum yang sedang berlangsung saat ini,  mestinya pihak terdakwa tidak mempolitisasi persidangan. Mengejar obyektifitas keterangan saksi bukan berarti tidak ada aturannya, setidaknya tidak boleh mengajukan pertanyaan yang menjebak dan tidak boleh melakukan tekanan kepada saksi, seperti yang terjadi pada Ketua Umum MUI, KH. Ma'ruf Amin dan saksi-saksi lain.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement