REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Revisi Undang-Undang (UU) Anti Terorisme masih terus dibahas oleh Panitia Khusus (Pansus) UU Terorisme DPR RI. Awalnya revisi itu akan selesai awal Januari 2017, namun kemudian mengalami pengunduran menjadi bulan Maret 2017, tapi kabar terakhir menyebutkan pengesahan revisi itu menjadi UU Terorisme akan dilakukan bulan Mei 2017.
Pakar hukum Prof Syaiful Bakhri menilai, pembahasan revisi UU Anti Terorisme itu terlalu lamban. Akibatnya, semua pihak harus menunggu cukup lama yang berakibat banyak kasus terorisme yang belum bisa terjerat oleh hukum. Alhasil penanganan masalah terorisme ini masih menggunakan penegakan hukum klasik/manual, dan tidak mengacu pada sebuah UU Anti Terorisme kekinian.
"Saya tidak meriset detail masalah itu, tapi faktanya sampai sekarang belum ada UU Anti Terorisme modern mengenai pencegahan terorisme. Selama ini kita mengacu pada UU dari hasil Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu), sehingga banyak kejadian terorisme yang didasari oleh modernisasi, baik itu cara maupun alat yang digunakan, tidak bisa dijerat hukum. Sebagai rakyat kita berharap dalam koridor politik hukum perundang-undangan, UU Terorisme harus segera disahkan karena memang sudah terlalu lama," kata Prof Syaiful Bakhri di Jakarta, Kamis (2/2).
Namun, lanjut Prof Syaiful Bakhri, dalam rancangan yang dibahas Pansus UU Terorisme, ia melihat sudah mulai terintegrasi. Ia juga yakin Pansus UU Terorisme DPR RI sudah tahu poin-poin atau substansi yang ingin diatur. Tentunya revisi itu harus mengacu UU Terorisme yang tersebar di seluruh dunia, sebagai sebuah pasal yang universal. Soalnya, terorisme ini bukan masalah lokal, tapi masalah global.
Apalagi saat ini, terorisme telah berkembang seiring perkembangan ilmu pengetahuan yang semakin modern. Mereka (teroris) melakukan aksinya dengan menggunakan alat-alat canggih. Artinya kejahatan dan terorisme ini akan terus meningkatkan akselerasinya sesuai dengan perkembangan yang terjadi.
Di sisi lain, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang dibangun pada abad ke-16 sudah membuat parameter bahwa kejahatan kemanusiaan dibagi menjadi dua yakni di bidang harta benda antara lain penggelapan, penipuan, pemalsuan, penghinaan dan terhadap nyawa seperti pengeroyokan, penganiayaan, pembunuhan, terorisme. Kejahatan itu seusai KUHP akan dihadapi dengan perspektif kejahatan hukum.
"Tapi akselerasi kehidupan manusia terus berubah seiring perkembangan zaman. Untuk kejahatan biasa, KUHP masih bisa menangani, tapi karena dunia berubah, dan kasus terorisme ini makin sistemik antar negara, maka UU Terorisme harus segera disahkan," terang pria yang juga Rektor Universitas Muhammadiyah Jakarta ini.
Ia mencontohkan bahwa di dunia lain seperti Eropa, Amerika, Australia itu sudah UU Anti Terorisme. Tentunya Indonesia harus mengikuti pola itu karena ancaman terorisme akhir-akhir ini semakin meresahkan. Apalagi pemerintah telah membentuk Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) sebagai lembaga yang bertanggungjawab menanggulangi terorisme. Ironisnya, BNPT dibentuk bukan karena perintah UU, tapi dari Peraturan Presiden (Perpres).
"BNPT sebagai lembaga baru tentu sedang mencari pondasi kewenangannya. Selama ini BNPT dibentuk atas dasar perintah presiden (kekuasaan). Kalau nanti dalam UU Anti Terorisme nanti memberikan mandat, kewenangan, dan otorisasi kepada BNPT, maka BNPT akan menjadi lembaga negara dalam arti sesungguhnya," ungkap Prof Syaiful.
Saat ini, lanjut Prof Syaiful, ada dua perimbangan dalam program penanggulangan terorisme yang dilakukan BNPT yaitu pencegahan dan penindakan. Menurutnya dua-duanya itu penting, tapi dari hukum pidana masa kini, dalam penegakan hukum itu, pencegahan lebih diutamakan, bukan penindakan. Ia mencontohkan, selama ini sudah banyak penindakan hukum yang dilakukan terhadap kasus kejahatan, khususnya terorisme, tapi faktanya kejahatan itu masih terus terjadi.
"Itu berarti penindakan itu gagal. Maka upaya pencegahan ini lebih mempunyai nilai kebaruan, apalagi dilakukan sejak dini. Memang tugas pencegahan ini sangat mulia, tapi butuh waktu panjang karena masyarakat harus terlibat secara penuh. Bila semua orang menyatakan perang terhadap terorisme, maka lembaga tinggal mendorong saja. Dan itu pasti akan lebih efektif, dibandingkan dengan menindak," papar Prof Syaiful.
Ia melanjutkan, bilamana pencegahan dilakukan pada porsi yang proporsional maka penindakan akan berkurang dengan sendirinya. Pencegahan bisa menjadi 'payung' bagi masyarakat dalam mencegah terorisme. "Seperti kata pepatah sedia payung sebelum hujan. Kalau masyarakat memiliki payung yang kuat, maka mereka juga pasti bisa membendung dan mencegah terorisme dari tingkat paling dini," imbuhnya.
Langkah itu dinilai akan lebih efektif dan lebih murah dibandingkan dengan menghukum orang. Pasalnya, hukuman penjara apalagi dalam waktu lama seperti seumur hidup atau diatas 15 tahun, akan berimplikasi dengan terganggunya keuangan negara, karena para terhukum itu harus diberi makan dan lain-lain. Ia sepakat bila ada pelaku aksi terorisme yang banyak membunuh orang, lebih baik dihukum mati saja.