REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota tim kuasa hukum Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) Sirra Prayuna menyatakan kehadiran dua saksi fakta yang bekerja sebagai nelayan di Kepulauan Seribu dalam sidang lanjutan Ahok sangat penting karena akan memberikan penjelasan soal reaksi masyakarat atas kehadiran Ahok pada September 2016 lalu.
"Yang paling penting pagi ini adalah pemeriksaan dua orang saksi fakta yang hadir saat kunjungan Ahok 27 September yang saya kira memberikan penjelasan bahwa tidak ada reaksi yang negatif dari pertemuan 27 September 2016 itu," kata Sirra di Kementerian Pertanian, Jakarta, Selasa (31/1).
Menurut Sirra, masyarakat di Kepulauan Seribu tertawa, bertepuk-tangan dan bahkan tidak melihat terjadi suatu hal yang dianggap menggaunggu perasaAn mereka. "Dan ini juga terbukti kemarin (Senin, 30/1) saat kunjungan Pak Ahok ke Kepulauan Seribu, mereka menerima dengan baik, berdialog, bahkan memberikan dukungan. Artinya suasana kebatinan masyarakat di Kepulauan Seribu sesungguhnya tidak terganggu dengan situasi ini," ucap Sirra.
Sementara soal pemanggilan Komisioner KPU DKI Jakarta, Dahlia Umar, ia menyatakan bahwa yang bersangkutan hanya akan memberikan penjelasan apakah Ahok itu calon kepala daerah atau tidak. "Yang jelas Pak Ahok saat itu baru mendaftar belum ditetapkan sebagai calon kepala daerah jadi baru bakal calon, kalau dia bakal calon kan tidak ada suatu pelanggaran apa pun dalam proses elektoral yang diatur dalam UU Pilkada," ucap Sirra.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) akan menghadirkan lima saksi dalam sidang kedelapan Ahok di Auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta, Selasa. Lima saksi itu antara lain dua saksi dari nelayan di Pulang Panggang, Kepulauan Seribu, yaitu Jaenudin alias Panel bin Adim, dan Sahbudin alias Deni. Selanjutnya Ketua Umum MUI Ma'ruf Amin dan Komisioner KPU DKI Jakarta, Dahlia Umar. Satu saksi lagi yaitu Ibnu Baskoro sebagai saksi pelapor.
Sidang kedelepan Ahok ini dijadwalkan dimulai pukul 09.00 WIB. Ahok dikenakan dakwaan alternatif yakni Pasal 156a dengan ancaman 5 tahun penjara dan Pasal 156 KUHP dengan ancaman 4 tahun penjara. Menurut Pasal 156 KUHP, barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak Rp 4.500.
Perkataan golongan dalam pasal ini dan pasal berikutnya berarti tiap-tiap bagian dari rakyat Indonesia yang berbeda dengan suatu atau beberapa bagian lainnya karena ras, negeri asal, agama, tempat asal, keturunan, kebangsaan atau kedudukan menurut hukum tata negara. Sementara menurut Pasal 156a KUHP, pidana penjara selama-lamanya lima tahun dikenakan kepada siapa saja yang dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.
Baca juga: Ketua MUI Sebut Ahok tak Etis Bicara Surah Al-Maidah, Ini Alasannya