Jumat 27 Jan 2017 18:01 WIB

Pak Harto Wafat, Kabar Alam, dan Liputan Wartawan

Suharto di Papua, 27 september 1969
Foto: dok. Anri
Suharto bersama Panglima Besar Sudirman sebelum pulang ke Yogyakarta dari medan gerilya.

Ya, persis sembilan tahun lalu, Presiden kedua republik ini wafat. Hari itu, sebenarnya saya sedang libur, setelah Sabtu saya bekerja hingga pukul 24.00. Sebagai Wakil Redaktur Pelaksana Harian Republika bidang Polhukam, saya juga bertanggung jawab untuk edisi Republika Ahad. Saya memang tidak pernah meninggalkan kantor sebelum pukul 00. Bahkan sering hingga pukul 01, sejak Pak Harto kembali dirawat di RSPP.

Ahad dini hari, tidur saya memang tidak begitu nyenyak. Terbangun hampir tiap jam. Apalagi setelah mengetahui pada pukul 01.30, kondisi Pak Harto memburuk. Saya sudah beritahu keluarga bahwa hari ini kemungkinan tidak bisa menemani jalan-jalan atau sekadar makan siang bersama.
Hari itu, kekhawatiran benar-benar terjadi. Pada siang hari, sekitar pukul 14.00 breaking news di televisi mengumumkan Pak Harto telah berpulang ke Rahmatullah.

Reporter Republika yang berada di rumah sakit pun sudah memberikan informasi via SMS.
Siang itu juga saya langsung berangkat kembali ke kantor di Jalan Warung Buncit Raya No.37, Pejaten. Itulah prosedur tetap bagi wartawan tanpa ada perintah harus segera ke kantor. Jelang sore, kami rapat redaksi lengkap. Seluruh redaktur ke atas hingga pemimpin redaksi wajib hadir. Bahkan Dirut Republika, Erick Thohir juga mengikuti rapat redaksi. Sesuatu yang jarang terjadi.

Mantan presiden ini memang spesial bagi pers. Berita wafatnya menjadi focus utama dalam kurun waktu sepekan. Pak Harto memang tokoh kuat di Indonesia dalam kurun waktu 32 tahun dengan segala cacatan baik dan sebaliknya. Tak ada gading yang tak retak. Keesokan harinya, The Smiling General dimakamkan secara kebesaran militer di Astana Giribangun, Karanganyar, Jawa Tengah. Sebuah mausoleum bagi keluarga Pak Harto. Letaknya di lereng Gunung Lawu. Di situlah, Ibu Negara dimakamkan pada 29 April 1996. Presiden SBY menjadi isnpektur upacara dalam pemakaman Presiden kedua RI tersebut.

Esoknya, Republika tampil dengan wajah beda. Halaman utama latar belakangnya berwarna hitam, tanda berkabung. Sangat artistik sekali. Kelak terbukti, tampilan Republika edisi Pak Harto wafat menjadi yang terbaik di Asia untuk jenis surat kabar.

Sebenarnya pada Desember 2001, saya juga pernah memimpin tim liputan Harian Media Indonesia saat Pak Harto dalam kondisi kritis dilarikan ke rumah sakit. Saat itu saya baru pulang sholat Idul Fitri. Tiba-tiba ada breaking news bahwa Pak Harto dalam kondisi kritis pada 17 desember 2001. Persis saat Idul Fitri.

Saya cuma sempat bersalaman dengan keluarga di rumah, belum sempat mengunjungi tetangga maupun sanak famili. Tiba-tiba ada pesan via SMS bahwa tim investigasi (Realitas Media Indonesia) dialihfungsikan sebagai tim liputan Soeharto. Saya ditunjuk sebagai ketua tim liputan. Tim investigasi Realitas Media Indonesia inilah sebagai cikal bakal Realitas Metro TV. 
Tim memiliki keahlian penyamaran, pengelabuan, pencurian dokumen, dan tentu saja wartawan bernyali tinggi. Saya bangga dengan tim ini. Metro TV rupanya tidak mau susah payah mendidik tim baru, jadi langsung mengambilalih saja yang sudah matang. Hahahaha….

Hari pertama, saya langsung membagi tim dari tiga waktu, selama 24 jam. Wajib berjaga di RSPP dengan posisi-posisi tertentu. Kesulitan pertama hari itu adalah logistik. Kantin rumah sakit belum ada yang buka. Rumah makan juga belum ada yang buka di kawasan Blok M. Maklum hari pertama Idul Fitri. Akhirnya tertangani juga, ada wartawan senior yang berjibaku mencarikan makanan untuk bekal begadang.

Hari pertama saya pelajari posisi kamar rawat Pak Harto yang dijaga ketat ke lantai 4 ruang F. Kami mendapatkan informasi awal dari Ketua Tim Dokter Ahli Kepresidenan, Dokter Kunendro, Pak Harto menderita radang paru-paru, sesak nafas, dan panas. Karena sudah uzur, 87 tahun, maka penyakitnya menjadi lebih berat.

Hari kedua, saya sudah melakukan penyamaran. Potong rambut model tentara. Menggunakan batik lengan panjang dan sepatu dinas harian militer. Jalan pun dibuat tegak layaknya tentara berjalan. Saya sudah tahu kapan harus masuk ke sebuah lift dan harus bersikap seperti apa menghadapi security RSPP. 
Peta lokasi sudah saya pelajari secara matang. Sore itu saya sudah berhasil masuk sampai ruang depan perawatan Pak Harto. Pura-pura menjadi pengawal mantan Menko Kesejahteraan Rakyat, Haryono Suyono. Sukses.

Begitulah suka duka meliput bekas orang nomor satu di republik ini. Jenderal besar itu dirawat selama 11 hari di RSPP. Saya piker hamper semua newsroom media massa sudah menyiapkan bank naskah tentang pak Harto jika sewaktu-waktu wafat.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement