Selasa 24 Jan 2017 02:29 WIB

Peneliti: Masyarakat Polahi Turut Lindungi Hutan Gorontalo

Lahan hutan (ilustrasi)
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Lahan hutan (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, GORONTALO -- Peneliti dari Burung Indonesia Program Gorontalo, Marahalim Siagian mengatakan dari beberapa perilaku hidup masyarakat Polahi yang hingga kini mendiami Pegunungan Boliyohuto Provinsi Gorontalo, menunjukkan upaya-upaya untuk melindungi hutan sebagai tempat tinggalnya.

"Misalnya Polahi tidak makan sejumlah satwa yang dilindungi. Mereka memenuhi sebagian kebutuhan makanannya dengan budidaya," ujarnya di Gorontalo, Senin.

Dalam publikasi penelitiannya, Marahalim menguraikan dasar ekonomi Polahi sebenarnya adalah pertanian subsisten dengan membuka hutan seluas 1-2 ha per siklus.

Lama siklus berladang sekitar 2-3 tahun, kemudian melepaskan lahan itu menjadi hutan kembali. Tanaman ubi kayu satu dari beberapa tanaman yang dibudidayakan Polahi untuk memenuhi kebutuhan karbohidrat. "Sifat tanaman pangan ini mudah tumbuh serta mudah diregenerasi. Satu rumpan ubi kayu dapat menghasilkan sekitar lima sampai tujuh kilogram per batang per musim dua kali setahun," jelasnya.

Orang Polahi juga mengumpulkan kembali kayu dalam hutan yang tidak terbakar sempurna untuk dibakar lagi. Sistem ini membuat usia ladang lebih lama karena terdapat biomassa yang cukup untuk mendukung pertanian subsisten.

Sedangkan dalam hal berburu, Polahi selalu melakukannya namun tidak ekstensif, seperti Orang Rimba di Jambi yang memanfaatkan hampir semua mamalia besar.

Menurutnya, populasi Polahi yang kecil bisa jadi salah satu alasan mengapa aktivitas berburu tidak mampu mereka lakukan dalam skala besar. "Teknik-teknik perburuan yang dikembangkan menggunakan jerat. Ini menggambarkan bahwa sistem ini berskala kecil, bandingkan dengan kegitan berburu berkelompok dengan pengerahan belasan anjing," tambahnya.

Satwa liar yang dilindungi dan endemik Sulawesi seperti Yakis dan Babi Rusa, ternyata juga tidak dikonsumsi oleh Polahi karena alasan berbeda.

Yakis tabu dikonsumsi karena dipercaya merupakan jelmaan manusia, sedangkan Babi Rusa dan semua jenis babi dipercaya dapat menyebabkan gatal-gatal bila dikonsumsi.

Penelitian Burung Indonesia tersebut dilakukan bersama sejumlah mahasiswa Jurusan Sosiologi Universitas Negeri Gorontalo (UNG) pada tahun 2015.

Penelitian tersebut untuk memastikan ada tidaknya Polahi di dalam kawasan hutan calon konsesi restorasi ekosistem Burung Indonesia, yang berada di hutan Popayato-Paguat. Studi itu juga melihat aspek pemanfaatan sumberdaya hutan oleh Polahi.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement