Ahad 22 Jan 2017 10:48 WIB

Wajah Buram Penerbangan Indonesia

Red: M Akbar
Juwono Kolbioen
Foto: istimewa
Juwono Kolbioen

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Marsekal Purn TNI Juwono Kolbion*

Menanggapi kecelakaan Caribou di Papua, setelah saya mengikuti proses investigasi yang dilakukan kKNKT saya merasa ada hal yang harus diungkap dan dipahami bersama untuk bahan perbaikan dunia penerbangan Indonesia.

Sebagaimana dipahami bersama bahwa di dunia penerbangan terdapat 3 (tiga) High Risk Accident, yaitu Runway Safety Accident, Loss of Control-In flight dan Controlled Flight Into Terrain (CFIT).

Dari ketiga jenis kecelakaan yang beresiko tinggi tersebut, Runway Safety Accident adalah yang tertinggi karena mencapai 59 persen dari total ke-3 jenis kecelakaan tersebut. Diikuti oleh Loss Control in-Flight dan Controlled Flight Into Terrain.

Sedangkan, CFIT yang sejak dulu, merupakan jenis kecelakaan yang tertinggi di dunia ternyata secara berangsur telah bergeser kedudukannya. Hal tersebut terjadi setelah diberlakukannya berbagai tindakan preventif yaitu melalui standar penggunaan peralatan (avionic dan surveillance) untuk sistem peringatan anti collision serta prosedurnya.

Tindakan preventif yang dilakukan oleh ICAO antara lain adalah mewajibkan penggunaan sistem peringatan dini (alerting system) di semua pesawat komersial. Alat yang dikenal sebagai Enhanced Ground Proximity Warning System (EGPWS) berfungsi memberikan peringatan dini dalam bentuk visual dan suara kepada penerbang apabila pesawat yang sedang dikendalikan terlalu dekat atau mengarah ke daratan atau ke objek didarat yang merupakan rintangan (obstacles).

 

Objek tersebut dapat berupa bukit, lereng pegunungan, puncak gunung atau bangunan tinggi bahkan wind shear (gejala cuaca sesaat yang berupa angin puting beliung yang berdaya kuat).  

Namun di Indonesia CFIT masih cukup tinggi inilah yang memprihatinkan. Fakta menunjukkan bahwa Compliance Indonesia terhadap pelaksanaan aturan keselamatan dunia (SARPs ICAO) masih rendah. Terbukti lebih dari 9 tahun Indonesia masuk kategori 2.  

Perlu dipahami terutama oleh regulator bahwa  SARPs ICAO telah dilakukan oleh  negara anggota PBB dengan melaksanakan program peningkatan keselamatan  dalam bentuk implementasi SARPs yang dikenal dengan  program USOAP. Progran tersebut meliputi 8 (delapan ) parameter yang terdiri atas: perundang-undangan, organisasi, lisensi, operasi, lelaik udaraan, investigasi kecelakaan, pelayanan navigasi udara dan bandar udara.

Parameter-parameter tersebut akan diaudit oleh USOAP untuk mendapatkan data mengenai kondisi kepatuhan (compliance) dan implementasi suatu negara terhadap peraturan yang berlaku. Audit USOAP terhadap Indonesia pada tahun 2016, seluruh parameter masih berada di bawah rata-rata  dunia. Inilah yang sangat memprihatinkan. Kondisi ini semakin diperparah karena tidak banyak pihak yang mengetahuinya.

* Vice President Indonesia Aviation and Aerospace Watch

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement