Selasa 17 Jan 2017 14:07 WIB

Menag: UU Penodaan Agama Masih Relevan

Rep: Dessy Suciati Saputri/ Red: Ilham
Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin.
Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang
Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin menilai Undang-Undang (UU) No. 1/PNPS/1965 tentang Penodaan Agama hingga kini masih relevan digunakan. Undang-undang tersebut harus dimaknai agar ajaran pokok agama tidak disalahgunakan oleh siapapun sehingga dapat menimbulkan kerawanan sosial.

Seharusnya, kata dia, undang-undang tersebut dilihat dari sisi preventif sehingga tidak menyebabkan masalah sosial. "Jadi tidak kemudian digunakan untuk menghukum orang, dalih menista atau menoda, tapi harus betul-betul dimaknai bahwa UU itu justru dalam rangka sebenarnya untuk bagaimana agar masing-masing ajaran agama, khususnya yang terkait dengan pokok-pokok atau isi pokok dari ajaran agama itu tidak lalu kemudian disimpangi oleh siapapun juga sehingga malah itu lalu menimbulkan kerawanan sosial," jelas Lukman di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (17/1).

Ia menjelaskan, UU No. 1/PNPS/1965 dibentuk untuk mencegah adanya oknum yang menistakan ajaran agama dan menyebarluaskan ajaran agama yang justru tak sesuai dari ajaran agama itu sendiri. UU tersebut, kata dia, dibentuk untuk menjaga prinsip ajaran agama dari tindakan penistaan.

"Itu karena dulu tahun 65 banyak sekali orang mengaku-ngaku sebagai tokoh agama, ahli agama, lalu menyebarluaskan ajaran-ajaran yang justru bertolak belakang dari esensi agama itu sendiri. Itulah kenapa kemudain muncul UU itu untuk bagaimana agar ajaran pokok setiap agama tidak boleh dinodai, tidak boleh dinistakan," jelas dia.

Bahkan, kata dia, Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan bahwa UU tersebut masih relevan dalam konteks bangsa Indonesia. "Itu perlu diuji di MK, dan MK memutus UU itu masih sangat relevan untuk konteks ke-Indonesiaan kita," ucap Lukman.

Sebelumnya, praktisi antropolog Yando Zakaria, ‎salah satu hal yang membuat masyarakat Indonesia semakin intoleran adalah persoalan hukum yang tidak terimplementasikan secara baik. Salah satunya adalah adanya aturan yang biasa digunakan dalam kasus penistaan agama, yaitu undang-undang (UU) No. 1/PNPS/1965 tentang Penodaan Agama.

"‎Kita perlu berpikir ulang UU penistaan agama. Ini bukan persoalan agama. Penistaan agama menjadi sangat relatif, dan bisa dipolitisasi," kata Yando usai menemui Presiden Joko Widodo (Jokowi), di Istana Presiden, Senin (16/1).

Menurut dia, pasal penistaan agama pun sangat mudah digunakan oleh siapa saja untuk menuduh orang lain menistakan agama tertentu. Hal ini harus segera ditindak secara tegas agar pasal atau undang-undang penistaan agama tidak membuat negara ini terpecah belah.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement