Selasa 17 Jan 2017 09:00 WIB

Merawat Indonesia

Red: M Akbar
Aktivis Santri Indonesia melakukan aksi membawa bendera merah putih di Bundaran HI, Jakarta, Ahad (2/10).
Foto: Republika/ Tahta Aidilla
Aktivis Santri Indonesia melakukan aksi membawa bendera merah putih di Bundaran HI, Jakarta, Ahad (2/10).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Dadang Solihin (Rektor Universitas Darma Persada)

Dalam beberapa waktu terakhir, kegaduhan politik yang terjadi di negeri ini begitu menyesakkan ruang publik. Dalam kegaduhan itu, banyak pihak yang mulai mempertanyakan kelangsungan kebinekaan maupun toleransi dalam kehidupan berbangsa. Tapi benarkah persoalan kebinekaan dan toleransi di negeri ini sedang mengalami krisis?

Sebelum menelaah situasi krisis tersebut, perlu dipahami bahwa kegaduhan ini sesungguhnya buah dari demokrasi yang tengah diagungkan di negeri ini. Pada masa sekarang, siapa saja bisa bersuara secara bebas dan terbuka di ruang publik. Tak sedikit juga, kebebasan dan keterbukaan itu mengevaluasi maupun mengkritik kebijakan para pemimpin yang tengah berkuasa. Lalu ditambah dengan semakin luasnya jangkauan akses internet di negeri ini, perang opini melalui udara untuk saling memengaruhi semakin berserakan. Hasilnya, seperti yang sudah kita rasakan saat ini, yakni politik gaduh.

Lantas salahkah dengan demokrasi yang tengah diagungkan di negeri ini? Fareed Zakaria, seorang kolumnis ternama kelahiran India sekaligus juga penyandang gelar PhD dari Harvard University, pernah melakukan sejumlah riset terhadap negara-negara yang menjalankan demokrasi. Dalam riset tersebut, ia mengukur indikator income per kapita sebagai salah satu parameter bagi keberhasilan tegaknya demokrasi di sebuah negara.

Ia berasumsi bahwa salah satu faktor utama untuk keberhasilan demokrasi adalah minimal income per kapita sebuah negara itu sebesar 6000 dolar AS. Sementara Indonesia ketika memasuki era demokratisasi baru memiliki income per kapita 3.000 dolar AS. Artinya, dari salah satu parameter tersebut terlihat bahwa Indonesia masih belum cukup siap untuk menjalankan demokrasi.

Lalu apa implikasi dari ketidaksiapan tersebut? Salah satu contoh yang paling telanjang bisa kita saksikan dalam setiap kali penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu). Pada masa Orde Baru, upaya membeli suara atau praktik money politic masih dilakukan secara tersembunyi. Sementara pada era reformasi semuanya menjadi begitu telanjang. Tak ada lagi rasa malu untuk menolak praktik money politic. Bahkan slogan-slogan "Ambil Uangnya, Jangan Pilih Orangnya" menjadi ajakan yang justru disuarakan oleh banyak tokoh publik. Inilah sebuah bentuk kesesatan berpikir dan bersikap yang ditumbuhkan di negeri ini.

Konsekuensi dari sikap yang begitu permisif terhadap praktik money politic dalam setiap penyelenggaraan pemilu maka lahirlah pemimpin-pemimpin bermodal besar atau disokong para pemilik modal. Artinya, proses pengalihan kekuasaan itu hanya bermuara kepada kelompok-kelompok berkapitalisasi melimpah saja. Sementara mereka yang memiliki cakap kemampuan memimpin serta punya keberpihakan kepada publik, tapi tidak disokong para kaum kapitalis maka akan sangat sulit untuk menemukan mereka berada di dalam lingkar kekuasaan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement