Senin 16 Jan 2017 21:27 WIB

Hoax Dinilai tak Merajalela Jika Pemerintah Responsif Jawab Isu

Rep: Amri Amrullah/ Red: Ilham
Melawan hoax (ilustrasi).
Foto: Republika/Prayogi
Melawan hoax (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Isu menjamurnya berita palsu (hoax) yang bertujuan untuk menipu masyarakat agar mempercayai sesuatu di dunia maya dan situs media sosial kian hangat akhir-akhir ini. Dari sekian banyak sasaran berita palsu, pemerintah kerap menjadi target hoax, terutama berbagai kebijakannya yang dianggap tidak sensitif.

Wakil Ketua Komite III DPD Fahira Idris mengatakan, hoax semakin mudah diramu saat pemerintah tidak satu suara terhadap sebuah kebijakan atau menjawab isu. Akibatnya, publik menganggap hoax sebuah kebenaran karena pemerintah lamban mengklarifikasi berbagai isu, misalnya saja soal maraknya TKA ilegal.

"Makanya jika ingin hoax tidak merajalela menghantam pemerintah, kabinet harus responsif menjawab isu. Pemerintah punya semua sumber daya, masak kalah dengan komplotan pembuat hoax," ujar Wakil Ketua Komite III DPD Fahira Idris dalam keterangan tertulisnya, Senin (16/1).

Fahira mengungkapkan, berita hoax yang menyasar pemerintah sebenarnya juga terjadi pada pemerintahan sebelumnya. Tapi, ia mengakui tidak semarak sekarang. Saat ini, pembuat dan penyebar info hoax menemukan momentumnya karena pemerintah secara tidak sadar ‘rajin memberi umpan’.

Situasi terutama di awal pemerintahan di mana kabinet sering gaduh, menteri saling hardik di media massa. Ditambah seringnya kebijakan kontroversi diambil seperti proyek kereta cepat atau pengangkatan menteri yang kewarganegaraannya bermasalah, semua jadi ladang isu hoax itu.

Selain itu, terjadi saling lempar tanggung jawab di pemerintah terhadap sebuah kebijakan atau peristiwa. Misalnya, soal penyebaran vaksin palsu, kemecetan mudik lebaran di pintu Tol Brebes Timur (Brexit), isu serbuan TKA Ilegal, dan kebijakan kenaikan pengurusan administrasi kendaraan bermotor.

Kondisi ini, kata Fahira, diperparah lemahnya menajemen isu dan komunikasi pemerintah, menjadi pangkal mudahnya sebuah kebijakan dan peristiwa dijadikan materi berita hoax. "Kalau pemerintah ‘tidak rajin beri umpan’, maka penyebaran berita hoax bisa efektif dicegah. Jadi pencegahannya bukan sekedar mengancam menindak tegas atau menjerat pidana penyebar hoax," katanya.

Sebab, berita hoax akan tetap ada selama lebarnya kesenjangan antara kebijakan atau tindakan pemerintah, dengan ekspektasi publik. Dan publik akan mempercayai informasi yang tidak benar jika pemerintah lamban menjawabnya dengan fakta. "Selain itu, pemerintah juga harus jelas membedakan mana kritik mana hoax," katanya.

Karena itu, hoax selama dua tahun ini, bagi Fahira, juga menandakan banyak pekerjaan rumah bidang komunikasi publik yang harus dibenahi oleh pemerintahan. Ketiadaan orkestrasi dalam menanggapi sebuah isu dan peristiwa akan menjadi batu sandungan dalam memberikan informasi yang baik dan menenangkan publik.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement