REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Koordinator Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), Robert Endi Jaweng menuturkan tidak ada satu daerah yang maju dan inovatif dengan kepemimpinan dinasti politik. "Faktanya seperti itu," ucap Endi di Menteng, Jakarta, Sabtu (7/1).
Menurut Endi, dinasti politik dan korupsi seperti koin yang memiliki dua sisi. Dinasti politik amat rentan terjadi korupsi. Namun sayangnya, pemerintah belum memiliki perspektif seperti itu.
Pemerintah masih terjebak pada anggapan dinasti politik adalah bagian dari hak politik tiap individu yang bersangkutan dan pihak yang berdinasti politik belum tentu korup. "Perlu upaya komprehensif dari perspektif yang sama. Sayangnya wapres dan mendagri tidak satu perspektif, lalu bagaimana bisa membuat upaya itu. Padahal teori dan fakta punya sebab akibat yang kuat," katanya.
Pemerintah, lanjut Endi, perlu membangun sistem pencegahan yang baik. Juga, disertai dengan penindakan yang memiliki efek jera. Menurut dia, hukuman bagi pelaku korupsi jika di bawah tiga tahun itu tidak akan menimbulkan efek jera.
"Coba lihat hukumannya, kalau kurang di bawah tiga tahun, itu enggak ada efek jeranya," ujarnya.
Pemerintah pusat selama ini masih seperti pemadam kebakaran terhadap kondisi di daerah yang melakukan dinasti politik. Kalau ada masalah yang muncul dari daerah, barulah bertindak.
Kasus korupsi yang terjadi Kabupaten Klaten adalah salah satu contohnya. Padahal, kata Endi, proses pergantian pejabat atau pengisian jabatan itu rentan terjadi penyimpangan.
"Kalau pusat sadar sejak awal, enggak akan terjadi kasus seperti di Klaten. Di Klaten itu sampai dibikin daftar harga, tarif, dan banderolnya (untuk pengisian jabatan)," jelasnya.