REPUBLIKA.CO.ID,MATARAM -- Ketua Komisi III DPRD NTB Johan Rosihan menilai, kenaikan tarif administrasi surat kendaraan merupakan kebijakan yang kurang tepat, terutama bagi daerah.
"Menurut saya, ini adalah kebijakan yang tidak adil buat daerah," ujarnya di Mataram, Jumat (6/1).
Johan merinci, kenaikan memang hanya menyasar pada biaya stempel, di mana, sebelumnya tidak masuk sebagai pendapatan negara, hanya menjadi "pungutan liar" yang nilainya Rp 10 ribu sekarang dilegalkan menjadi Rp 20 ribu. Demikian pula dengan stempel pada BPKB dan Pelat Nomor Kendaraan.
Kenaikan itu, ia paparkan, hanya komponen PNBP pada STNK maupun BPKB, dan tidak ada kenaikan pajak. Pajak pada STNK dan BPKB itu merupakan penghasilan bagi daerah.
Meski begitu, Ketua Fraksi PKS di DPRD NTB, ini menyebutkan, mahalnya harga pengurusan surat kendaraan ini diprediksi akan berakibat warga enggan membayar pajak kendaraan. Walaupun bukan pajak yang naik, tapi komponen-komponen tersebut harus dibayar bersamaan oleh wajib pajak.
"Jika itu terjadi maka pasti akan berdampak pada pendapatan daerah yang sangat tergantung pajak kendaraan bermotor. Karenanya, kami meminta agar presiden segera mencabut kebijakan yang tidak adil itu," ungkapnya.
Baca juga: JK Akui Komunikasi Internal Pemerintah Bermasalah Terkait Tarif STNK