REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Akhir tahun 2016 lalu, Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemenkominfo) memblokir 11 situs yang mengandung konten SARA. Langkah itu dinilai tepat untuk mengantisipasi semakin banyaknya ujaran kebencian dan kekerasan, serta hoax yg sangat mengganggu dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Selain upaya blokir itu, pemerintah juga harus bisa menegakkan hukum secara tegas terhadap media-media tersebut.
"Kita ini sebenarnya agak telat dalam menegakkan law enforcement terkait media-media radikal itu. Dari dulu sampai sekarang, kita masih mau tawar menawar dengan mereka, yang jelas-jelas mempunyai itikad jelek dan melawan hukum dengan metnyebarkan kebencian dan kekerasan, baik dalam tulisan, gambar, maupun video. Intinya, harus ada law enforcement yang jelas terhadap media-media radikal di internet," ungkap Khabit Aam PBNU KH Yahya Cholil Staquf di Jakarta, Rabu (4/1).
Selama ini, lanjut Yahya Staquf, NU diminta atau tidak sudah aktif memberikan pelaporan ke Kemenkominfo dan kepolisian tentang situs-situs berbahaya tersebut. Akibatnya, NU selalu jadi sasaran serangan propaganda kebencian itu. Selain itu, NU juga turun dan bertabayyun untuk menenangkan warga agar tidak terpengaruh atau bahkan marah menanggapi ujaran kebencian tersebut.
Mantan juru bicara Presiden Gus Dur ini membantah dengan tegas sinyalemen bahwa situs yang diblokir itu adalah situs-situs islam. Menurutnya, sinyalemen itu salah besar karena langkah urusan pemblokiran itu konteknya bukan agama, tapi tentang pelanggaran dan ujaran kebencian.
"Ini bukan soal islam atau tidak islam, tapi ini soal melanggar hukum atau tidak, melawan konstitusi atau tidak. Islam, kalau melawan hukum, ya harus ditindak, apapun alasannya. Begitu juga bukan islam, kalau melanggar, harus ditindak tegas. Kalau berdebat tentang islam, silakan berdebat, tapi tidak boleh melawan hukum dan konstitusi. Kita ini negara yang berdasarkan konstitusi bukan berdasarkan golongan atau orang," jelas Yahya Staquf.
Terbaru, PBNU baru mencanangkan gerakan melawan hoax dan radikalisme di internet. Menurut Yahya Staquf, sebenarnya gerakan itu sudah lama dilakukan NU dengan menggalang para nadhliyin yang aktif di internet. Sejak 2006 ini, gerakan yang bersifat sukarela dan inisiatif sendiri, terus dibangun. Sekarang, gerakan itu sudah berkembang signifikan dan memiliki anggota 1000 orang lebih untuk melawan hoax dan radikalisme di internet.
Ia berharap langkah ini juga diikuti organisasi lain dalam melawan hoax dan radikalisme di internet. Apalagi saat ini dinamika politik di Indonesia sedang hangat dan banyak situs yang sengaja digunakan pihak tertentu sebagai wahana propaganda dengan menghalalkan segala cara, termasuk memproduksi informasi palsu.
"Mereka layaknya mesin propaganda yang canggih dengan sumberdaya yang kuat. Sudah banyak akibat tidak baik yang dihasilkan propaganda hoax dan kekerasan ini. Makanya NU terus mengembangkan gerakan internet untuk menolak hoax dari latar belakang apapun dan kepentingan apapun," tukas Yahya Staquf.
Yang pasti, keberadaan media radikal ini sudah menjadi masalah global dan dampaknya sangat buruk di masyarakat. Bahkan masyarakat bisa terprovokasi untuk melakukan tindakan melawan hukum setelah terkena propaganda kekerasan dan hoax.