REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) Hilmar Farid mengatakan banyak profesor maupun doktor atau kalangan akademis yang percaya pada hoax (kabar bohong). "Pengaruh media sosial memang luar biasa, tinggal kasih foto dan judul langsung menyebar berita hoax tersebut," ujar Hilmar usai peresmian kantor Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia (Hiski) di Jakarta, Rabu (4/1).
Mereka yang percaya pada kabar bohong tersebut, lanjut dia, sebagian besar adalah generasi transisi. Generasi yang lahir belum bersinggungan dengan teknologi dan ketika dewasa mulai kenal dengan teknologi.
"Biasanya, mereka yang percaya dengan kabar bohong tersebut adalah generasi transisi. Banyak malah profesor dan doktor yang percaya pada kabar bohong tersebut," tambah dia.
Hal itu berdasarkan penelitian yang dilakukannya bersama dengan Kominfo pada 2015. Dari hasil penelitian tersebut, diketahui malah yang menjadi korban berita bohong maupun SMS (pesan singkat) penipuan malah orang-orang yang mempunyai tingkat intelektualitas yang tinggi.
"Malah anak-anak yang lahir sudah bersinggungan dengan teknologi, tidak mudah percaya dengan kabar bohong itu. Anak-anak itu lebih selektif karena bisa melacak sumber berita itu dengan teknologi," katanya.
Kabar bohong tersebut, juga dimanfaatkan oleh sebagian orang untuk membenarkan opininya terhadap suatu hal. Hilmar menyebut bahwa mereka bukan mencari informasi tetapi konfirmasi.
Untuk menangkis banyaknya kabar bohong tersebut, dia menyebut perlu dilakukan literasi media, yang memberikan pengetahuan pada masyarakat bahwa berita tersebut hoax atau bukan, serta situs yang memberitakannya kredibel atau tidak.
"Literasi media ini perlu diberikan kepada masyarakat," imbuh dia.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo meminta setiap kementerian yang ada untuk sigap menangkal isu hoax yang beredar di media sosial. Jokowi meminta situs atau media sosial yang menyebarkan hoax dan kebencian ditindak tegas.