Senin 02 Jan 2017 14:36 WIB

Kebijakan Bebas Visa Penting Ditinjau Ulang

Rep: Dessy Suciati Saputri/ Red: Ilham
Pakar hukum Unpar Asep Warlan Yusuf (kanan).
Foto: Antara
Pakar hukum Unpar Asep Warlan Yusuf (kanan).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Parahyangan, Asep Warlan Yusuf menilai peninjauan ulang pemberlakuan kebijakan bebas visa perlu dilakukan. Peninjauan kembali penting mengingat banyaknya masalah yang ditimbulkan akibat pemberlakukan kebijakan ini.

"Penting (ditinjau ulang). Sebab dari sisi pelaksanaannya masih banyak penyalahgunaan, susah untuk diawasi, dan susah untuk ditindak. Karena itu, menurut saya bagus untuk dikaji ulang," kata Asep saat dihubungi, Senin (2/1).

Ia mengatakan, kebijakan bebas visa yang dimaksudkan untuk meningkatkan jumlah wisatawan asing di Indonesia, justru masih bermasalah. Menurut dia, visa merupakan alat kendali paling awal yang diperlukan dalam mencegah penyalahgunaan atau ancaman lainnya di dalam negeri.

Jika dilakukan, peninjauan ulang kebijakan bebas visa inipun perlu difokuskan untuk mengevaluasi penegakan aturan serta pengawasan. "Penyalahgunaan visa, kontrol, dan penegakan aturannya mesti disiapkan. Dari sisi praktek banyak penyalahgunaan. Kontrol, pengawasan, dan penegakan jadi lemah," kata dia.

Ia menilai, pemerintah belum siap memberlakukan kebijakan bebas visa ini. Sebab, dalam pelaksanaannya, aparatur pemerintah di tingkat lapangan masih belum siap untuk melakukan pengawasan-pengawasan sehingga berpotensi terjadinya penyalahgunaan yang mengancam keamanan negara.

Asep mengatakan, peninjauan kebijakan bebas visa perlu dilakukan karena lebih banyak memberikan kerugian daripada manfaat. Ia juga meminta pemerintah untuk memperhatikan usulan tersebut.

Lebih lanjut, Asep menyampaikan, kebijakan bebas visa yang diberlakukan pemerintah ini dapat menyebabkan berbagai ancaman di tanah air mengingat semakin banyaknya tenaga kerja asing yang masuk di Indonesia secara ilegal. Yakni pertama, semakin berkurangnya lapangan kerja di Indonesia. Kedua, adanya potensi konflik seperti kecemburuan sosial dalam masyarakat.

Ketiga, adanya potensi ancaman penyebaran paham komunisme melalui organisasi masyarakat asing yang dengan mudah didirikan di Indonesia. Selain itu, Asep juga menilai adanya tenaga kerja asing di Indonesia tak dibarengi dengan dilakukannya transfer ilmu. Sehingga justru semakin membebani negara.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement