REPUBLIKA.CO.ID, “Saat sampai Irak, ya Allah, saya baru tahu kalau ternyata Irak masih berkonflik. Suara tembakan dan bom terdengar di mana-mana,” ujar Tarsinah kepada Republika.co.id saat ditemui di Desa Bogadua, Kecamatan Bogadua, Kabupaten Indramayu, pekan lalu. Perempuan paruh baya itu baru empat bulan lalu kembali ke desanya. Jauh dari gemuruh perang di Timur Tengah.
Tarsinah menuturkan, ditawari bekerja ke Irak oleh seorang calo yang masih merupakan tetangganya, pada 2014 silam. Tawaran itu datang karena dia memiliki paspor yang masih aktif. Paspor itu dimilikinya setelah sebelumnya pernah bekerja sebagai buruh migran di Singapura.
Awalnya, Tarsinah sempat ragu menerima tawaran itu karena sepengetahuannya Irak belum lepas dari perang. Namun, calo tersebut meyakinkannya bahwa konflik di Irak sudah berakhir dan kini kondisi di Irak aman dan damai.
Tak hanya itu, lanjut Tarsinah, calo tersebut juga menjanjikannya gaji besar di Irak. Bahkan, calo itu juga memberinya fee sebesar Rp 5 juta, sebelum keberangkatannya ke Irak.
Tarsinah mengaku tergiur dengan tawaran gaji dan fee besar itu. Apalagi, kebutuhan ekonomi keluarganya sedang mendesak. Dengan modal ijazah sekolah dasar (SD), sangat sulit baginya untuk mencari pekerjaan di kampung halaman.
Tarsinah mengatakan, tidak mengurus dokumen apapun untuk keberangkatannya ke Irak. Dia hanya diminta menyerahkan paspor miliknya yang masih aktif kepada calo. Bahkan, kartu tanda penduduk (KTP) pun tak diperlukan. Hanya dalam selang waktu sepekan, dia langsung terbang ke Irak.
Dari Indramayu, Tarsinah terlebih dulu dibawa ke Jakarta lalu ke Batam dengan pesawat terbang dari Bandara Soekarno-Hatta. Dari Batam, dia kemudian dibawa ke Malaysia menggunakan kapal feri. Setelah sampai di Malaysia, dia diterbangkan ke Bagdad, Irak setelah sebelumnya transit di Abu Dhabi.
Di Irak, Tarsinah terkejut melihat keadaan masih mencekam. "Saat bulan puasa kemarin, ada sekitar 20 kali suara bom,'' tutur Tarsinah.
Kemalangan Tarsinah bertambah karena majikannya, Abu Jalal dan keluarga, memperlakukannya dengan kasar. Kekerasan fisik ia alamai bahkan dikurung di ruang bawah tanah, tak jarang dialaminya. Dia juga nyaris menjadi korban perkosaan majikannya.
Tak hanya itu, selama 15 bulan bekerja di rumah tersebut, Tarsinah hanya memperoleh gaji selama dua bulan, dengan besaran gaji 300 dolar AS (sekitar Rp 4 juta) per bulan. Sedangkan gaji selama 13 bulan lainnya, tak diterimanya.
Berkat bantuan sopir keluarga majikannya, Tarsinah berhasil menghubungi agennya dan meminta untuk pindah majikan. Agen Tarsinah akhirnya datang dan membawanya keluar dari rumah majikan tersebut.
Tarsinah kemudian dijual ke majikan lain, yakni pasangan Alsholi Sattar Jabar Kadhim dan Aljubury Ibtyal Salim. Di rumah majikan kedua itu, Tarsinah diperlakukan dengan baik. Dia pun bisa berkomunikasi dengan keluarganya, termasuk melalui media sosial.
Namun, konflik bersenjata yang melanda negeri tersebut membuat nyawa Tarsinah selalu terancam. Dia akhirnya meminta agar bisa pulang ke kampung halamannya.“Tapi majikan menolak. Dia baru mau melepas kalau saya membayar ganti rugi 10 ribu dolar Amerika,’’ tutur Tarsinah.
Tarsinah pun mengadu pada pihak KBRI, namun tak direspon. Dia akhirnya mengadu kepada Ketua SBMI Indramayu, Juwarih, melalui media sosial. Juwarih kemudian menyebarkan kisah Tarsinah ke berbagai media di Tanah Air.
Pemerintah melalui KBRI di Bagdad, akhirnya mendatangi rumah majikan Tarsinah. Setelah negosiasi panjang selama 3,5 jam, tim KBRI akhirnya berhasil membebaskan Tarsinah dari rumah majikannya. Tarsinah akhirnya kembali ke keluarganya pada akhir Agustus 2016 silam.
Bukan Tarsinah sendirian yang tertipu sindikat perdagangan orang. Dari Desa Sukadana, Kecamatan Tukdana, Kabupaten Indramayu ada juga Lina binti Carlim Warlan (42 tahun).
Lina berangkat bekerja ke Negeri 1001 Malam itu melalui perantara bernama Iti pada awal November 2014. Setelah sampai ke Bagdad, sindikat kemudian menjual Lina ke majikan pertama dan dijanjikan gaji sebesar USD 300 per bulan. Namun, setelah bekerja selama 18 bulan, ternyata gaji yang diterimanya hanya sembilan bulan atau USD 2.700.
Setiap kali Lina meminta gaji pada majikannya, maka bogem mentah yang diterimanya. Dia juga diperlakukan seperti budak selama 18 bulan bekerja di rumah majikan itu.
Beberapa kali, majikan laki-lakinya mencoba memperkosa Lina dan sempat mendorongnya dari tangga lantai dua hingga jatuh ke lantai satu. Akibatnya, dia kerap merasakan sakit pada perutnya.
Majikan pertama kemudian menjual Lina ke majikan kedua yang bernama Ahmed H Fyadh. Di rumah majikan kedua yang terletak di Karada Sare Sadaliya, Baghdad itu, Lina juga diperlakukan seperti budak. "Dalam kondisi sakit, istri saya tetap disuruh untuk bekerja di tiga rumah dan tidak diberi kebebasan untuk berkomunikasi," ujar suami Lina, Kasman, kepada Republika.co.id.
Menurut Kasman, setelah bekerja selama delapan bulan di rumah majikan kedua, istrinya itu meminta kepada majikan untuk dipulangkan ke Indonesia. Pasalnya, kondisi istrinya yang sakit sudah tidak mampu untuk bekerja.
Namun, sang majikan malah marah dan meminta ganti rugi sebesar USD 5.000 jika Lina tetap memaksa pulang. Selepas itu, majikan memutus semua jalur komunikasi Lina dengan keluarganya di Indramayu. Hingga saat ini, kondisi Lina belum diketahui.
Tarsinah beruntung bisa pulang dengan selamat, tak seperti Sumyati Padili (27 tahun), korban perdagangan orang yang meninggal di Suriah awal tahun ini. Menurut keterangan KBRI di Damaskus, TKW kelahiran Serang, Banten itu mengembuskan nafas terakhirnya di RS Muasaat Damaskus akibat penyumbatan pembuluh darah di otak.
Pada bulan itu, KBRI Damaskus menangani tiga kasus kematian TKW. Selain Sumyati, juga Ani Sumarni Umar Toha yang dikuburkan di Suriah dan pada 3 Januari. Korban TPPO bernama Lili Mariana Harisadi juga mati bunuh diri di rumah majikannya dan dikuburkan pada 18 Januari 2016 di Damaskus.
Untung besar
Ratusan WNI pada tahun ini jadi korban perdagangan orang. Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) mencatatkan peningkatan jumlah WNI yang menjadi korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO) dari tahun ke tahun. Sebagian korban TPPO tersebut terjebak di daerah-daerah konflik di Timur Tengah, seperti Suriah dan Irak.
Kemenlu mendata, pada 2013 berbagai kedutaan besar Republik Indonesia di luar negeri menangani sebanyak 328 korban TPPO. Jumlah tersebut meningkat pada 2014 menjadi 425 korban. Setahun setelahnya, jumlah korban sempat menurun menjadi 296 orang. Namun pada 2016, jumlahnya kembali meningkat menjadi 470 korban.
Tren peningkatan tersebut terjadi kendati pemerintah telah memberlakukan moratorium pengiriman tenaga kerja Indonesia (TKI) ke Timur Tengah sejak 2011, menyusul memanasnya konflik di daerah tersebut. Pada Agustus 2015, pemerintah juga telah memberlakukan penghentian permanen pengiriman TKI ke seluruh wilayah Timur Tengah.
Di negara yang tengah dilanda perang seperti Suriah, WNI korban perdagangan orang yang ditangani KBRI setempat juga menunjukkan peningkatan tajam. Menurut data KBRI Damaskus, jumlah WNI korban TPPO di Suriah dalam setahun ini mencapai 128 orang. Jumlah itu nyaris dua kali lipat angka pada 2015 sebanyak 85 orang. Angka pada 2015 itu meningkat lima kali lipat dari jumlah pada 2014 sebanyak 16 orang.
Data Kedubes RI Damaskus juga menunjukkan alur perdagangan manusia dan pengiriman TKI ilegal ke Suriah. Alur tersebut didalangi tiga orang yang telah dijadikan tersangka, yakni pria berinisial UD yang merekrut di Banten, Jawa Barat, dan Jawa Timur; kemudian EV yang merekrut di Nusa Tenggara Barat (NTB); serta AKR, seorang WN Suriah yang merekrut di Banten, Jawa Barat, dan Jawa Timur.
Dari Indonesia, UD memberangkatkan para TKI ilegal dari Batam ke Kuala Lumpur, Malaysia. Dari Malaysia, korban diberangkatkan ke Istanbul, Turki, lalu ke Beirut, Lebanon, dan akhirnya Damaskus, Suriah.
Sedangkan, jalur yang digunakan EV adalah Batam-Kuala Lumpur-Amman, Yordania-Damaskus. Di Suriah, jaringan dilanjutkan seorang WN Suriah bernama Fadi Jumah.
AKR juga menggunakan jalur pemberangkatan Batam. Meski begitu, dari Batam, korban diberangkatkan ke Singapura lalu ke Guangzhou, Cina, lalu ke Dubai, Uni Emirat Arab, dan akhirnya Damaskus. Para korban ditadah WN Suriah bernama Bassam Zayyut.
Sejauh ini, KBRI Damaskus telah mengantongi tiga nama sindikat perdagangan orang yang bekerja secara individu. Mereka diketahui bekerja sama dengan sindikat asing yang berasal dari Suriah. "Di Indonesia ada yang diadili, bernama Bungawati. Tapi sindikat lain terus beroperasi dan duplikasi," katanya. Menurut dia, para sindikat itu meloloskan korban dengan dokumen asli yang data-datanya dipalsukan.
Meningkatnya jumlah WNI yang menjadi korban TPPO di negara konflik disebut tak lepas dari faktor ekonomi. Keuntungan para sindikat yang memperdagangkan WNI ke daerah-daerah, seperti Suriah dan Irak, disebut berkali-kali lipat.
Direktur Eksekutif Migrant Care, Anis Hidayah, mengungkapkan, kasus-kasus yang terjadi belakangan mengindikasikan hal tersebut. Ia memberi gambaran melalui perbandingan keuntungan yang didapat dari pengiriman TKI ke Qatar. Qatar (Uni Emirat Arab) bukan negara konflik.
Keuntungan mengirim satu orang TKI ke sana mencapai Rp 135 juta. "Keuntungan dari mengirim TKI ke daerah konflik bisa jadi dua kali lipatnya," tutur Anis Hidayah kepada Republika.co.id.
Menurutnya, hal tersebut disebab kan kebutuhan tenaga kerja di negara konflik tetap ada. Sementara, akses ke negara-negara tersebut juga sulit sehingga para sindikat mengenakan biaya pengganti yang besar. Terkait modus yang digunakan para sindikat, Anis menyebut para TKI tidak dikirim secara langsung. Pengiriman TKI dilakukan melalui negara-negara lain hingga berakhir ke negara konflik.
Terus meningkat
Jika keadaan tak segera dibenahi, angka-angka yang menunjukan maraknya WNI yang diperdagangkan ke luar negeri dan daerah konflik berpotensi meningkat tahun depan. "Akan naik terus tahun depan dan seterusnya jika Pemerintah Suriah tidak mengakui moratorium dan penghentian permanen pengiriman TKI," ujar Pejabat Konsuler yang merangkap sebagai Penerangan Sosial Budaya KBRI Damaskus, AM Sidqi.
Ia menjelaskan, korban mayoritas berasal dari wilayah NTB, Banten, dan Jawa Barat. Mereka bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Mereka terjerat sindikat perdagangan orang ke Suriah karena diiming-imingi pekerjaan sebagai TKI di negara lain.
Direktur Perlindungan WNI Kemenlu Lalu Muhammad Iqbal mengatakan, secara hukum memang tidak ada kewajiban Suriah mengakui moratorium dan penghentian TKI. Keputusan menteri ketenagakerjaan hanya berlaku untuk internal di Indonesia yang mengirimkan TKI ke sana.
"Jadi pertanyaan yang lebih relevan justru mengapa kita tidak mampu menegakkan peraturan yang kita sendiri buat? Mengapa aparat di Indonesia bisa kecolongan?" katanya. Kalau TKI masih bisa ke Suriah, menurut Iqbal, yang kehilangan wibawa bukan Pemerintah Suriah melainkan justru Indonesia.
Dia mengatakan, peraturan itu malah ditelikung oleh para predator pedagang manusia di depan mata. "Sudah ditelikung oleh mereka, pelakunya hanya sebagian kecil sekali yang bisa dihukum. Padahal bukti-bukti kasat mata sudah ada," katanya.
Kepala Bagian Penerangan Umum (Kabagpenum) Polri Kombes Martinus Sitompul berkilah, kasus-kasus TPPO ke negara-negera konflik tidak dengan mudah diketahui jika tidak ada laporan sebelumnya. Apalagi, menurut dia, bila sindikat memiliki kelengkapan paspor.
Belum lagi, Martinus menyatakan, Indonesia merupakan negara yang besar dan terbuka dengan berbagai pelabuhan. Sehingga orang dari dalam bisa keluar dan dari negara lain dapat masuk melalui pelabuhan-pelabuhan tersebut. Soal pengamanan dan pengawasan di dalam negeri, menurut dia, kepolisian harus menerima laporan terlebih dahulu. Setelah itu, pihaknya dapat melakukan upaya penindakan. []