REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tersangka kasus dugaan suap pengadaan alat monitoring satelit di Badan Keamanan Laut (Bakamla) Fahmi Darmawansyah sudah mengeluarkan banyak dana untuk proyek tersebut.
"Walaupun anggaran untuk proyek itu belum turun seluruhnya," kata kata Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Din Syamsuddin di gedung KPK Jakarta, Kamis (29/12).
Din datang untuk menjenguk Fahmi yang sudah ditahan KPK sejak 23 Desember 2016. Fahmi tercatat merupakan bendahara MUI peridoe 2015-2020, meski tidak aktif dalam rapat-rapat organisasi tersebut. "Saya tahu persis, beliau itu tidak mengurus rinci, detail. Jadi ketika anak buahnya mengajukan lewat WA (whatsapp), dia (Fahmi) tidak membaca. Dia mengeluarkan cek dan sering tidak bernominal, nanti diserahkan kepada anak buahnya," ungkap Din.
Menurut Din, Fahmi juga bukanlah (Dirut) PT Melati Technofo Indonesia (MTI) sebagai pemenang tender, namun hanya berniat membantu perusahaan tersebut dalam permodalan. Namun, Din menilai, Fahmi dapat dikatakan lalai mengontrol apa yang dikerjakan anak buahnya dalam proyek itu.
"Jadi apa yang terjadi, bagaimana proses itu, dia sering abai untuk melihat. Tapi biarlah nanti proses hukum berlangsung. OTT itu bukan atas dia, tapi anak buahnya, anak buahnya yang melaksanakan proyek itu," ujarnya. Din yakin Fahmi tidak bersalah.
Kasus yang menjerat Fahmi bermula dari Operasi Tangkap Tangan KPK pada Rabu (14/12) terhadap Deputi Bidang Informasi, Hukum dan Kerja Sama Bakamla merangkap Kuasa Pengguna Anggaran Eko Susilo Hadi dan tiga orang pegawai PT Melati Technofo Indonesia Hardy Stefanus, Muhammad Adami Okta dan Danang Sri Radityo di dua tempat berbeda di Jakarta.
Eko diduga menerima Rp 2 miliar sebagai bagian dari Rp 15 miliar commitment fee yaitu 7,5 persen dari total anggaran alat monitoring satelit senilai Rp 200 miliar. Namun, KPK baru menetapkan Eko sebagai tersangka penerima suap dan Hardy, Muhammad Adami Okta serta Fahmi sebagai tersangka pemberi suap sedangkan Danang hanya berstatus sebagai saksi.