Ahad 18 Dec 2016 07:54 WIB

Masyarakat Melodrama, Propaganda Ala Himler: Arus Balik Pendukung Ahok

Seorang warga menangis saat penggusuran di pemukiman proyek normalisasi Sungai Ciliwung, Bukit Duri, Jakarta, Rabu (28/9).
Foto: Republika/Raisan Al Farisi
Seorang warga menangis saat penggusuran di pemukiman proyek normalisasi Sungai Ciliwung, Bukit Duri, Jakarta, Rabu (28/9).

Masyarakat Melodrama, Proganda Ala Himler: Arus Balik Pendukung Ahok

Oleh : Hersubeno Arief, Jurnalis Senior/Konsultan Media dan Politik

=================

“Ahok rebound!” pesan berantai tersebut beredar melalui sejumlah pesan di Whatsapp Group (WAG),  Kamis (15/12) pagi. Siang harinya Lembaga Survei Indonesia ( LSI) melansir  data-data terbaru hasil sigi mereka. Pasangan Ahok-Djarot kembali memimpin persaingan memperebutkan kursi Gubernur DKI Jakarta dengan angka 31.8 persen. Diikuti oleh pasangan Agus-Sylvi 26.5 persen dan pasangan  Anies-Sandy  23.9 persen.

Banyak yang kaget dengan hasil survei LSI (lembaga), bukan LSI (Denny JA) ini.  Bagaimana mungkin ditengah gempuran yang cukup massif , dan sejumlah lembaga survei mengkonfirmasi penurunan suara Ahok yang cukup signifikan, tiba-tiba suaranya bisa kembali melejit.

Bila kemudian muncul kecurigaan bahwa survei terbaru tadi merupakan survei “pesanan”, ya wajar-wajar saja. Toh sudah menjadi rahasia umum bila di Indonesia banyak, bahkan sebagian besar lembaga survei menjadi konsultan politik. Survei tidak lagi sekedar menjadi alat ukur tingkat keterpilihan kandidat, tapi sekaligus menjadi alat untuk mempengaruhi opini publik.

Semua itu erat kaitannya dengan teori klasik dalam pemasaran bernama bandwagon efffect, yakni sebuah efek ikut-ikutan. Seseorang juga ingin memiliki barang, karena barang tersebut  banyak dimiliki orang atau oleh kelompok lain. Dalam politik, pemilih akan cenderung untuk  memilih seorang kandidat yang paling banyak dipilih. Karena itulah publikasi sebuah survei yang menguntungkan klien sangat penting.

Soal lain yang mendasari kecurigaan, adalah  adanya permainan yang juga klasik. Dalam buku Darrell Huff disebut sebagai “How to Lie with Statistics”. Data statistik yang mendasari sebuah survei,  menjadi alat yang ampuh untuk berbohong. Prosesnya bisa dimulai  pada saat membuat konsep, ketika memilih dan menetapkan sampel/responden, pada waktu melakukan survei dan wawancara, ketika mengolah dan menabulasi data, menulis laporan bahkan ketika membaca hasil  laporan.

Dengan dasar itu, maka hasil survei yang asli tapi palsu tadi dijejalkan ke publik, melalui publikasi yang massif dan berulang. Dalam kondisi ini berlakulah adagium dari sosok master porpaganda Hitler, yang menjabat sebagai Kepala Kementerian Propaganda Nazi, Dr Joseph Goebbels. Dia memberi nasihat: “kebohongan yang dilakukan berulang-ulang, akan  menjadi kebenaran..!”

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement