Sabtu 10 Dec 2016 15:25 WIB

BNPB: Daerah Rawan Bencana Semakin Meningkat

Rep: Lintar Satria/ Red: Nur Aini
Kepala Pusat Data, Informasi, dan Humas Badan Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho lokasi bencana gempa di Provinci Aceh melalui layar di ruang pemantauan bencana Gedung BNPB, Jakarta, Jumat (9/12).
Foto: Republika/Raisan Al Farisi
Kepala Pusat Data, Informasi, dan Humas Badan Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho lokasi bencana gempa di Provinci Aceh melalui layar di ruang pemantauan bencana Gedung BNPB, Jakarta, Jumat (9/12).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Pusat Data dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo mengatakan jumlah bencana semakin meningkat. Namun, hal itu terjadi bukan hanya karena frekuensi bencana yang meningkat, tetapi juga informasi dan komunikasi memudahkan untuk pelaporan bencana.

"Selain itu ada daerah-daerah yang tidak rawan bencana sekarang terjadi bencana. Contohnya banjir yang begitu besar di Bangka Belitung, Kota Bandung yang terjadi beberapa kali. Di Salatiga, kemarin di Salatiga terjadi puting beliung yang sangat besar," kata Sutopo di kantor BNPB, Jakarta, Sabtu (10/12).

Sementara itu sampai sekarang, kata Sutopo, Kota Salatiga dan Bandung belum membentuk BPBD (Badan Penanggulangan Bencana Daerah). Kondisi itu dinilainya menyulitkan dalam penanganan bencana. Karena, kata Sutopo, BPBD tidak hanya menangani saat bencana tetapi juga pra-bencana dan pasca-bencana. Sutopo menuturkan BPBD akan menyiapkan masyarakat tahan bencana, menyosialisasikan, melakukan gladi, dan mengkoordinasikan tata ruang bencana.

Sutopo mencontohkan Kabupaten Pidie Jaya yang mengalami bencana gempa bumi belum dipetakan sebagai daerah rawan gempa. Pusat gempa dengan magnitude 6,5 skala richter yang terjadi empat hari lalu berada di luar sesar Semangalasi Topo.

"Kami mengasumsikan bahwa itu dipengaruhi sesar Semangalasi Topo dan sesar Sipopo," katanya.

Menurut Sutopo, keduanya merupakan sesar lokal, bukan sesar utama Sumatra. Sementara sesar Sumatra adalah sesar terpanjang kedua setelah sesar San Andreas. Artinya, kata Sutopo, banyak daerah yang belum terpetakan secara detail. Menurut Sutopo seharusnya peta skala yang sudah ada semakin didetailkan.

"Bencana di Pidie Jaya ini memberi pembelajaran yang banyak, bahwa masih banyak daerah rawan gempa tapi belum masuk dalam peta, petanya sudah kami revisi 2012 lalu, sekarang kami revisi, setiap lima tahun kami revisi, dibuat oleh tim ahli dikoordinir dari ITB bersama dengan Kemen PU, termasuk BNPB juga di sana," kata Sutopo.

Rencananya Kementerian Pekerjaan Umum, kata Sutopo, akan membuat Surat Keputusan untuk peta ini yang akan menjadi dasar pedoman teknis Penyusunan Pembangunan dan Tata Ruang. Akan tetapi, dengan kejadian gempa di Pidie Jaya, kata Sutopo, peta ini akan direvisi kembali.

"Tugas pemerintah daerah sebenarnya adalah mendetailkan peta mikrozonasi, nasional sudah selesai tapi harus didetailkan dengan skala yang lebih besar maka kami akan mengetahui bagaimana ancaman gempa lokal di situ, karena setiap daerah berbeda-beda tingkatannya," kata Sutopo.

Sutopo menjelaskan perbedaannya pada jenis batuan tanah, tingkat kelunakan tanah, kedangkalan tanah dan lain sebagainya. Karena itu bangunan akan disesuaikan dengan peta tersebut.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement