Kamis 08 Dec 2016 09:52 WIB

BPPT: Gempa Pidie Jaya Setara 4 Bom Atom Hiroshima

Petugas mengoperasikan alat berat untuk mencari korban yang tertimpa reruntuhan bangunan rumah toko (ruko) akibat gempa di Desa Ulee Glee, Kecamatan Bandar Dua, Kabupaten Pidie Jaya, Aceh, Rabu (7/12).
Foto: Antara/Ampelsa
Petugas mengoperasikan alat berat untuk mencari korban yang tertimpa reruntuhan bangunan rumah toko (ruko) akibat gempa di Desa Ulee Glee, Kecamatan Bandar Dua, Kabupaten Pidie Jaya, Aceh, Rabu (7/12).

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Perekayasa Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) menyebut gempa bumi yang berpusat di Kabupaten Pidie Jaya, Aceh, yang terjadi pada Rabu (7/12) pukul 05.04 WIB dengan kekuatan 6,5 Skala Richter (SR) setara dengan kekuatan 4 hingga 6 kali bom Hiroshimo.

"Gempa dangkal dekat bibir pantai tapi secara magnitude tidak sampai sebabkan tsunami. Kekuatannya setara 4 hingga 6 kali bom Hiroshima, karenanya bisa ratusan bangunan rusak," kata Manajer Teknik Uji Numerik Balai Teknologi Infrastruktur Pelabuhan dan Dinamika Pantai BPPT Widjo Kongko di Yogyakarta, Kamis (8/12).

Gempa bumi yang terletak pada 5,25 Lintang Utara (LU) dan 96,24 Bujur Timur (BT) tepatnya di darat pada jarak 106 kilometer (km) arah tenggara Kota Banda Aceh pada kedalaman 15 km ini bukan berasal dari aktivitas sesar subduksi tetapi sesar mendatar.

Aktivitas sesar mendatar Samalanga-Sipopok Fault yang jalur sesarnya berarah barat daya-timur laut ini, menurut dia, bisa sama parah dampak kerusakannya dengan sesar yang bergerak naik-turun karena cukup dangkal kedalamannya. Meski demikian, aktivitas sesar mendatar di dalam laut tidak memicu tsunami, berbeda dengan sesar yang bergerak naik-turun (subduksi).

"Mekanisme aktivitas sesar bisa mendatar atau naik-turun lebih karena dipengaruhi kondisi setting tektonik yang usianya bisa ratusan hingga jutaan tahun," ujar dia.

Pada sesar ini, menurut dia, tercatat dua kali sejarah terjadi gempa berkekuatan 7 SR. Meski demikian belum ditemukan catatan kerusakan yang ditimbulkannya.

"Gempa ini jadi test case juga untuk kesiapan early warning system dan sistem manajemen bencana yang sudah ada. Apakah semua itu sudah berjalan baik?" ujar Widjo.

Ia menjelaskan bahwa pada dasarnya bukan gempanya yang 'membunuh', tetapi korban justru ada karena tertimpa bangunan atau lainnya. Karena itu, peta detil mikrozonasi daerah vital, pemukiman, daerah industri sangat diperlukan dan harus dipatuhi.

"Dari sana standar bangunan tahan gempa harus ada di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Jadi perlu ada audit soal manajemen dan mitigasi bencana ini, apakah semuanya sudah dijalankan sesuai dengan hasil rekomendasi peneliti dan ahli," ujar dia.

Selain itu, Widjo menegaskan bahwa pembangunan kapasitas untuk manusia tetap harus sinergis demi berjalannhya mitigasi bencana dengan baik.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement