REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur The Community of Ideological Islamic Analyst (CIIA), Harits Abu Ulya mengatakan, pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) harus mengambil langkah cerdas dan bijak dalam menyikapi aksi 2 Desember besok (212). Sebab aksi yang akan digelar di Monas, Jakarta, bukanlah kegiatan main-main.
Gelombong umat Islam bergerak merapat ke Jakarta karena dorongan akidah dan moral. Dengan berbagai cara mereka swamandiri bergerak arah Jakarta, mulai dari jalan kaki hingga naik kapal dan pesawat untuk menghindari langkah penghambatan. Gerakan ini dimotori kelas menengah yang secara ekonomi dan pendidikan cukup.
Menurutnya, aksi superdamai 212 di Monas adalah jalan tengah. Namun, apabila rezim Jokowi baik melalui institusi Polri, kejaksaan, atau institusi terkait tidak bijak dan tidak peka untuk menangkap pesan substansial dari aksi ini maka potensial melahirkan situasi dan kondisi sosial politik yang kontraproduktif.
"Umat Islam bisa betul-betul tidak lagi percaya kepada institusi hukum, makin marah kepada rezim Jokowi," ujarnya, Kamis (1/12).
Harits melanjutkan, umat Islam dari kelas menengah sulit dibungkam dan dihentikan geliatnya. Umat bisa mencari jalan sendiri untuk menuntut keadilan dengan beragam ekspresi. "Mereka jauh-jauh datang ke Jakarta bukan karena ingin pindah shalat Jumat atau pindah doa atau istighasah. Substansinya adalah umat Islam menuntut keadilan," ujar pria yang juga merupakan pengamat terorisme itu.
Aksi 212 adalah aksi ke-3 oleh umat Islam. Aksi 212 menuntut keadilan atas tersangka kasus dugaan penistaan Alquran. Harits menyebut sejatinya rezim Jokowi tidak berkenan digelarnya kembali demo atau aksi serupa. Di satu sisi, pergerakan umat Islam seperti bola salju bergulir tidak bisa dihentikan.
Namun akhirnya disepakati aksi 212 dengan format aksi superdamai di gelar di Monas dengan banyak catatan (perjanjian). Menurutnya, format aksi superdamai yang akan digelar tidak boleh mereduksi atau melupakan substansi tuntutan. Di satu sisi, dia melihat ada upaya dari rezim Jokowi untuk membuat aksi 212 menjadi bias targetnya.
"Banyak opini demi kebinekaan, demi keutuhan NKRI dilekatkan pada agenda 212. Intinya terlihat ingin mengaburkan umat dari substansi masalahnya," ujarnya.