Selasa 29 Nov 2016 18:54 WIB

Penanganan Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan Disabilitas Lamban

Rep: Yulianingsih/ Red: Fernan Rahadi
Kekerasan terhadap perempuan. (ilustrasi)
Foto: www.jawaban.com
Kekerasan terhadap perempuan. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan disabilitas di DIY dinilai lamban. Hal itu disebabkan, dari sejumlah kasus kekerasan terhadap perempuan disabilitas sebagian besar belum masuk tahap penyidikan. 

Bahkan berdasarkan data dari Center for Improving Qualified Activity in Live of People with Disabilities (Ciqal) DIY dari 76 kasus kekerasan terhadap perempuan disabilitas baru tiga kasus yang masuk tahap pengadilan. "Sisanya 73 kasus belum tertangani dengan baik secara hukum," ujar Koordinator Program Advokasi Ciqal DIY, Ibnu Sukoco, di sela-sela peringatan hari anti kekerasan terhadap perempuan 2016 di Yogyakarta, Senin (28/11).

Sebanyak 76 kasus kekerasan terhadap perempuan disabilitas di DIY tersebut terjadi selama kurun tiga tahun terakhir. Kasus tersebut menurut Ibnu sebagian besar terjadi di wilayah Kabupaten Bantul dan Kulonprogo. Dari sekian kasus tersebut, 80 persen merupakan kasus kekerasan seksual berupa perkosaan dan pelakunya sebagian besar orang terdekat. Hanya empat kasus kekerasan dalam rumah tangga dari jumlah tersebut.

Lambannya penanganan hukum terhadap perempuan disabilitas korban kekerasan ini akibat kurangnya tenaga penyidik di ranah hukum yang paham terhadap disabilitas. "Contohnya saja pada pengaduan korban kekerasan perempuan tuna rungu. Pihak kepolisian sudah kesulitan saat membuat berkas laporan, belum lagi saat penyidikan. Mereka tidak siap untuk menanyakan kronologisnya terhadap korban dan akhirnya kasus diupayakan damai secara kekeluargaan," ujarnya.

Belum lagi jika kekerasan seksual tersebut terjadi pada perempuan tuna grahita. Secara umur mereka sudah masuk usia dewasa bahkan tua, namun dari sisi fisik perempuan ini masih seperti anak-anak. Pihak kepolisian juga bingung akan mengenakan Undang-Undang yang digunakan dalam kasus tersebut. Menggunakan Undang-Undang anak tetapi umurnya dewasa. Hal-hal inilah yang menjadi alasan mengapa kasus kekerasan terhadap perempuan disabilitas seringkali tidak terselesaikan secara hukum.

Karena itulah memperingati hari anti kekerasan terhadap perempuan tahun ini, Ciqal bersama lembaga lain menginisiasi gerakan Short Message Service (SMS) ke anggota DPR RI berisi dukungan untuk segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang(RUU) Pencegahan Kekerasan Seksual (PKS) menjadi UU.

Hal senada diungkapkan Supriyanti. Pendamping korban kekerasan di Ciqal ini mengatakan kesulitan komunikasi antara aparat penegak hukum baik kepolisian, pengacara, maupun hakim menjadi kendala terbesar penanganan terhadap kasus kekerasan terhadap perempuan disabilitas di DIY. Menurutnya, belum ada karyawan atau staf di penegak hukum di DIY yang tahu secara baik melakukan komunikasi dengan perempuan disabilitas korban kekerasan. "Komunikasi saja sulit dengan penyandang tuna netra maupun tuna grahita, apalagi mau bertanya kronologisnya," ujarnya.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement