REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Koordinator Gerakan Indonesia Bersih Adhie Massardi mengatakan, pergantian posisi ketua DPR memiliki kecenderungan ada kekhawatiran momen aksi bela Islam pada 2 Desember 2016 mendatang.
Pasalnya, Ade Komaruddin diketahui sangat dekat dengan ormas Islam dan juga mantan aktivis HMI. Oleh karena itu, pergantian Ketua DPR bertujuan memperkuat posisi dan kekuatan presiden.
"Kecenderungan ini terkait dengan kehawatiran momen aksi bela Islam, dan Presiden Jokowi melakukan safari politik dalam mencari dukungan meski sebagai reaksi yang berlebihan" jelas Adhie Masardi, Kamis (24/11).
Menurut Adhie, Presiden seharusnya tidak perlu khawatir dan pastikan proses hukum berjalan secara baik karena hal itu yang diminta masyarakat. " Proses hukum harus berjalan baik agar masyarakat terutama ormas dan umat islam, yang menuntut kasus dugaan penistaan agama dapat berjalan sesuai hukum," tegas Adhie.
Adhie juga mengungkapkan, jika pergantian Setya Novanto bukan pada tempatnya jika dikaitkan dengan dukungan ke istana karena persoalan berbeda dengan rehabilitasi. "Ini masalah politik dan bukan rehabilitasi nama baik Setya Novanto, dalam kasus dugaan permintaan saham PT Freport," jelas Adhie.
Sementara itu, Anggota DPR dari PKS Aboe Bakar Alhabsy menilai pergantian posisi Ade Komarudin sebagai ketua DPR RI bermuatan politis. Aboe Bakar menjelaskan saat ini terlihat bahwa presiden ingin memperkuat posisi dukungan di parlemen dengan mengganti posisi ade komarudin oleh Setya Novanto.
"Presiden tidak nyaman kalau di DPR bukan dari temannya sendiri. Karena itu presiden terkesan mendukung Setya Novanto menjadi ketua DPR kembali," ungkapnya.
Pengamat politik Lingkar Madani Ray Rangkuti menilai penggantiaan Ade Komarudin sebagai ketua DPR menimbulkan pertanyaan besar. "Pimpinan DPR sudah dipilih melalui rapat paripurna DPR dalam deliknya dia menjabat lima tahun. Kecuali melakukan tindakan yang melanggar aturan dan etika di DPR melalui keputusan MKD," ungkap Ray.