Rabu 23 Nov 2016 00:15 WIB

Ombudsman Kritisi Kesiapan Kemenag Berlakukan UU JPH

Rep: Fuji EP/ Red: Nur Aini
Produk dengan label halal terpajang di salah satu supermarket di Jakarta. ilustrasi (Republika/Prayogi).
Foto: Republika/Prayogi
Produk dengan label halal terpajang di salah satu supermarket di Jakarta. ilustrasi (Republika/Prayogi).

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Ombudsman Republik Indonesia (ORI) menilai Kementerian Agama (Kemenag) belum serius mempersiapkan pemberlakuan Undang-undang (UU) Jaminan Produk Halal (JPH). Mereka menyatakan beberapa temuan yang mengindikasi Kemenag belum sepenuhnya siap. Tapi, Kemenag tetap bersepakat akan memberlakukan UU JPH secara bertahap.

Anggota Ombudsman RI, Ahmad Su’aedy mengatakan, kelembagaan yang akan berwenang memberikan sertifikasi sesuai UU Nomor 33 Tahun 2014 belum siap dan belum terbentuk. Koordinasi yang dilakukan oleh Kemenag kepada instansi lain belum memadai. Padahal produk halal berkaitan langsung dengan beberapa kementerian dan lembaga.

"Seperti Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kementerian Kesehatan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Pertanian dan Kementerian Koperasi dan UKM," kata Ahmad kepada Republika.co.id, di Gedung Ombudsman RI, Jakarta, Selasa (22/11).

Ia menerangkan, ORI juga menemukan ketidaksiapan para pihak terkait. Sebab, isu biaya registrasi sertifikasi halal masih belum jelas. Kemudian, belum tersedianya data yang lengkap terkait jumlah pengusaha kecil, menengah, dan industri rumah tangga di tingkat Kabupaten/ Kota. Padahal, data tersebut sebagai basis data pemerintah dalam penerapan UU JPH.

Menurutnya, belum ada pasal yang mengatur sanksi di dalam UU Nomor 33 Tahun 2014 bagi pengusaha yang belum mendaftarkan produknya. Kriteria halal juga belum jelas. Ia menilai perlu ada karakteristik dan pembatasan yang jelas. "Apakah semua produk yang dipakai harus halal atau hanya yang dikonsumsi saja," ujarnya.

Ia mengatakan, hal-hal yang juga perlu dipertimbangkan, JPH merupakan hak masyarakat dan tugas Pemerintah. UU 33 Tahun 2014 bersifat mandatory (wajib) dan bukan lagi voluntary (sukarela). Selain itu, menurutnya, banyak negara Muslim yang belum memberlakukan sertifikasi halal sebagai keharusan misalnya Arab Saudi.

Sertifikasi halal menjadi kewajiban pemerintah yang memiliki penduduk Muslim minoritas. Seperti negara nonmuslim, contohnya Korea Selatan, Cina, Jepang, dan Inggris. "Perlu dipertimbangkan masa transisi untuk diperpanjang bukan tiga tahun karena belum ada RPP untuk mengatur BPJPH dan badan lain yang ada dalam UU JPH," ujarnya

Ahmad juga menerangkan, berdasarkan hasil temuan ORI, belum ada perhatian dari pihak terkait untuk memonitor produk yang sudah bersertifiaksi halal. Selain itu, belum ada pertimbangan dan perbandingan yang cukup dengan melihat pengalaman negara Muslim lain di dunia. Berdasarkan hasil temuan tersebut, ORI menyarankan pemerintah untuk menunda penerapan UU JPH sampai semuanya matang dan siap.

Namun, Kemenag tetap akan menerapkan PP JPH. Sebab, UU JPH sudah ditetapkan. Kabag Perencanaan Peraturan Perundang-undangan Biro Hukum Kemenag RI, Imam Syaukani mengatakan, pihaknya sangat mengapresiasi temuan dan kajian ORI. Walaupun data yang disampaikan ORI merupakan naskah awal Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Kemenag. Menurutnya, naskah RPP sudah banyak mengalami perubahan sampai saat ini.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement