REPUBLIKA.CO.ID, DENPASAR -- Organisasi Islam Nahdlatul Ulama (NU) Provinsi Bali mengambil sikap untuk tidak ikut serta dalam aksi unjuk rasa yang dikabarkan berlangsung 25 November dan 2 Desember 2016 mendatang.
Ini merupakan aksi lanjutan menuntut ketegasan pemerintah menangani kasus penistaan agama yang dilakukan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahja Purnama.
"NU menegaskan kembali untuk tidak ikut aksi 25 November dan 2 Desember. Itu keputusan resmi NU. Jika ada anggota yang ingin tetap ikut, dipersilakan asal tidak menggunakan atribut NU," kata Ketua Perwakilan Wilayah NU Provinsi Bali, Abdul Aziz di Denpasar, Selasa (22/11).
Azis mengatakan NU Bali lebih fokus menjaga persoalan di Bali. Ini untuk menghindari persoalan di Jakarta tidak menimbulkan permasalahan baru yang mengancam keamanan dan ketentraman umat beragama di Pulau Dewata.
"Sekarang ini mau tidak mau ada upaya mengadu domba antarumat beragama. Media sosial bisa diakses siapapun. Jangan sampai peristiwanya di Jakarta, tapi efeknya bergeser ke Bali yang diadu domba pihak-pihak tak bertanggung jawab," katanya.
NU menyoroti kasus ini menjadi dua bagian. Pertama, penistaan agama yang dilakukan Ahok menyinggung perasaan umat Islam. Ini sudah terjadi dan sudah diproses. Kedua, proses hukum selanjutnya diserahkan kepada Polri dan NU memandang penegakan hukumnya sudah berjalan.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bali menyerahkan masalah penodaan dan penistaan agama kepada aparat penegak hukum. Umat Muslim di Bali diminta tidak terprovokasi hasutan pihak manapun dengan cara dan media apapun yang mengarah kepada pecahnya kerukunan beragama.
MUI Bali berharap proses hukum menyangkut penistaan agama ini dilakukan dengan tegas dan transparan. Meski demikian, MUI Bali tidak bisa melarang masyarakat Muslim untuk tidak ikut aksi mendatang, melainkan hanya memberi pertimbangan.
"MUI hanya mengawal sampai masalah ini diproses secara hukum. Jika sudah masuk proses hukum, maka biar pengadilan menentukan," kata Dewan Pertimbangan MUI Bali, Roichan Muchlis.
Roichan yang juga Sekretaris Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Bali itu juga mengimbau umat beragama di Bali untuk menjaga sikap di media sosial. Kasus penistaan agama bisa berubah menjadi pertentangan atau ketidakrukunan antarumat beragama hanya karena postingan di media sosial.
"Berbeda posting, berbeda suku, berbeda agama memunculkan ketidaknyamanan. Umat beragama di Bali, tolong jangan ikut berkomentar apapun tentang kasus ini di media sosial. Biarkan selesai secara hukum," ujarnya.
Persoalan penistaan agama, kata Roichan bukan hanya menyinggung umat di satu kelompok atau satu negara saja. Dia mencontohkan persoalan umat Muslim di luar negeri reaksinya bisa sampai ke Indonesia. "Jika sudah masuk penodaan agama maka itu menjadi masalah sedunia," katanya.