Selasa 22 Nov 2016 10:57 WIB

Soal Penggantian Akom, Kopel: DPR Bukan Milik Golkar

Rep: Qommarria Rostanti/ Red: Andi Nur Aminah
Ade Komaruddin yang sedang diwacanakan akan digantikan kembali oleh Setya Novanto sebagai Ketua DPR
Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang
Ade Komaruddin yang sedang diwacanakan akan digantikan kembali oleh Setya Novanto sebagai Ketua DPR

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komite Pemantau Legislatif (Kopel) Indonesia menanggapi keputusan Partai Golkar yang kembali menunjuk Setya Novanto sebagai Ketua DPR RI. Direktur Kopel Indonesia Syamsuddin Alimsyah mengatakan Golkar harus sadar keberadaan lembaga DPR bukan organisasi biasa yang milik orang perseorangan sehingga dengan seenaknya bisa main bongkar pasang.

Menurut dia, efeknya bukan hanya terbatas pada persoalan administrasi yang terganggu atau anggaran yang boros untuk mobilisasi prosesi pergantian. "Lebih jauh adalah kendali desain visi misi dan program lembaga yang tidak akan bisa tertata secara baik sehingga merugikan publik," ujarnya, Selasa (22/11).

Syamsuddin mengatakan, sekarang ini DPR dinilai semakin terpuruk. Aktor-aktor penjaga nilai DPR semakin berkurang. "Sebaliknya aktor yang senang memanfaatkan kekuasan terus tumbuh. Indikasi itu bisa dilihat dengan perilaku anggota DPR sekarang," katanya.

Dia menduga anggota DPR tidak hanya senang memanfaatkan kuasa untuk mendapatkan akses bermain dalam proyek di pemerintahan, tetapi juga memanfaatkan fasilitas negara untuk keluarga. Dia menyebut yang saat ini menjadi tren adalah perilaku sebagian oknum anggota DPR yang memanfaatkan kuasanya mengintervensi lembaga penegak hukum dengan mendampingi langsung rekannya saat proses atau sedang menjalanani upaya penegakan hukum.

Fakta ini, Syamsuddin mengatakan, juga menguatkan kekhawatiran masyarakat bahwa pemahaman para politisi selama ini terhadap kedudukan kelembagaan sangat lemah. Menurut Syamsuddin, apabila mereka paham letak posisi pimpinan DPR hanya sebagai juru bicara dan memimpin persidangan, maka jabatan pimpinan DPR bukanlah posisi yang harus diperebutkan.

"Sayangnya selama ini posisi pimpinan DPR dimaknai keliru sebagai posisi yang membawa pada  status dan prestesius seseorang terutama bila dikaitkan dengan status sosial," ujarnya. Alhasil perebutan itu menjadi bola yangg selalu menarik untuk dimainkan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement