REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pusat Informasi dan Advokasi Rohingya Arakan (PIARA) menyayangkan masih terjadinya kejahatan kemanusiaan terhadap etnis minoritas Muslim Rohingya di Maungdaw dan sekitarnya di Rakhine alias Arakan di Myanmar barat laut.
Pendiri PIARA, Heru Susetyo mengatakan Indonesia dan negara-negara ASEAN harus memberi pelajaran keras bagi Myanmar atas kembali terjadinya kekerasan kemanusiaan pada November 2016 terhadap Muslim Rohingya. Menurutnya kekerasan bagi Muslim Rohingya ini struktural, dan disponsori negara berupa terorisme negara.
"Mendesak pemerintah Indonesia melakukan langkah-langkah diplomatik tegas, mulai dari memanggil pulang Dubes Indonesia di Myanmar hingga pemutusan hubungan diplomatik dengan Myanmar apabila Myanmar tetap melakukan kekerasan struktural terhadap etnis Rohingya," kata dia kepada Republika.co.id, Selasa (22/11).
Sikap tegas ini, menurutnya penting karena kejahatan kemanusiaan yang terjadi di Rakhine dilakukan secara struktural dan sistematis. Tujuannya untuk menyingkirkan etnis minoritas Rohingya dari sistem politik, hukum dan pemerintahan, hingga sosial, budaya dan ekonomi dengan pendekatan kekerasan yang bervariasi baik fisik, psikis, verbal, seksual, sosial budaya, hingga kekerasan ekonomi.
Ia menilai Myanmar juga telah melakukan pembiaran, bahkan turut memprovokasi dan memfasilitasi etnis mayoritas dan komunitas lain melakukan kekerasan dan diskriminasi terhadap etnis Rohingya. Bahkan kejahatan itu diprovokasi oleh oknum pemuka agama mayoritas di sana.
Karena itu, menurutnya sikap tegas Indonesia dan ASEAN harus dilakukan. "Melakukan intervensi kemanusiaan hingga intervensi politik dan militer apabila kekerasan terus berlarut di Rakhine State," kata dia.
Heru juga mendesak meninjau ulang politik ‘non-intervensi’ dalam ASEAN Charter yang membuat ASEAN tak bergigi. Ia juga mendesak Dewan Keamanan PBB untuk melakukan intervensi kemanusiaan di Myanmar apabila kekerasan di Rakhine State terus berlarut, sesuai dengan mandat pada Chapter VII dari Piagam PBB.