Senin 21 Nov 2016 17:00 WIB

Belajar dari Kearifan Lokal Masyarakat Desa Karangsong

Rep: Neni Ridarineni/ Red: Agus Yulianto
Pengunjung menikmati suasana hutan mangrove di ekowisata mangrove Karangsong, Indramayu, Jawa Barat.
Foto: Antara
Pengunjung menikmati suasana hutan mangrove di ekowisata mangrove Karangsong, Indramayu, Jawa Barat.

REPUBLIKA.CO.ID, Dulu Hutan Mangrove di Desa Karangsong, Kecamatan Indramayu, Kabupaten Indramayu sekitar tahun 1970-1980, luar biasa keberadaannya. Namun selama 1983-2008 di sekitar 127,3 hektare Pantai Karangsong mengalami abrasi. Penyebabnya adalah dibelokkannya aliran Sungai Cimanuk ke arah Waledan –Lamaran Tarung, pada 1983. Akibatnya, pantai Desa Karangsong tidak mendapatkan suplai sedimen.

Di samping itu, kata anggota Kelompok Petani Tambak Pantai Lestari Desa Karangsong Eka Tarika, kerusakan hutan mangrove semakin bertambah parah dengan adanya booming udang Windu. "Karena masyarakat membuat tambak udang Windu dengan melakukan penebangan hutan mangrove besar-besaran di tahun 1995. Akibat tidak adanya pelindung di bibir pantai terjadilah abrasi dengan tekanan gelombang yang tinggi. Tambak udang pun akhirnya ditinggalkan masyarakat," kata Eka Tarika di hutan mangrove Desa Karangson dalam acara Media Gathering Pertamina MOR IV 2016 yang berlangsung 18-20 November.

Akhirnya, masyarakat di Desa Karangsong yang peduli dengan lingkungan mulai melakukan rehabilitasi Pantai Karangsong bersama PT Pertamina

(Persero) Refinery Unit (RU) VI Balongan, Kabupaten Indramayu sejak 2008. Pada awalnya, dilakukan penanaman mangrove sebanyak 5.000 bibit di Desa Karangsong. Di 2012, Pertamina melakukan penanaman mangrove lagi 10 ribu bibit dan saat itu dilakukan peresmian hutan mangrove Karangsong yang dilakukan Pertamina.

Dikatakan Eka, tantangan yang dihadapinya adalah benturan dengan masyarakat. Antara masyarakat yang menjadikan tambak di lokasi hutan mangrove dengan masyarakat yang ingin menyelamatkan pesisir. Hal ini yang membuat program rehabilitasi kawasan pantai tidak berhasil. Karena status lahan ada pemiliknya ketika terjadi sedimentasi atau muncul daratan atau tanah timbul untuk dijadikan tambak. Sehingga, mayoritas lahan tersebut ada hak guna usaha (HGU).

"Yang sudah saya pelajari, ada sekitar 23 Undang-Undang/Keputusan Menteri yang terkait dengan selamatkan pesisir. Namun, seringkali upaya rehabilitasi pantai untuk menyelamatkan pesisir gagal. Menurut saya justru kearifan lokal yang tertulis yang bisa melindungi kawasan mangrove, karena yang mengawasi masyarakat sendiri," ujar Eka .

Akhirnya, dari Desa Karangsong membuat Peraturan Desa No. 9 Tahun 2009 untuk melindungi kawasan mangrove. Dengan penerbitan Perdes tersebut hal ini menjadi tonggak kesadaran warga Desa Karangsong akan kepedulian mereka terhadap lingkungan.  

Dalam Perdes tersebut disebutkan bahwa kawasan yang sudah ditetapkan di dalam Perdes seluas 2,5 hektare tidak bisa diperjualbelikan dan dikukuhkan menjadi perlindungan mangrove. "Bagi warga yang diketahui merusak mangrove mendapat sanksi setiap merusak satu pohon harus menanam 100 tanaman mangrove hingga tumbuh," tutur Eka.

Sampai sekarang, program konservasi mangrove Karangsong telah berjalan delapan tahun. Tim Peneliti Konservasi Keanekaragaman Hayati dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Kementerian Lingkugan Hidup telah melakukan serangkaian penelitian Lapangan. Hasil kajiannya, program rehabilitasi Pantai Karangsong telah menunjukkan perubahan yang signifikan.

Program ini telah berhasil melakukan penghijauan di area seluas sekitar 69 hektar, dengan peningkatan jenis mangrove dari tiga spesies pada saat mulai rehabilitas menjadi  enam spesies ditambah tiga jenis vegetasi pantai. Dampaknya pun juga dirasakan warga Karangsong dan sekitarnya.

Hal itu juga diakui  Head of Communication RU VI Balongan Rustam Aji. Menurut dia, keistimewaan program konservasi mangrove  di Desa Karangsong karena adanya Perdes Tahun 2009.  Awalnya program yang dikembangkan di Desa Karangsong hanya terfokus pada konservasi lingkungan. Setelah delapan tahun berkembang menjadi hutan mangrove yang lebat, program konservasi dikembangkan program ekowisata.

Pada 2014, RU VI Balongan bersama Kelompok Petani Tambak Pantai Lestari membuat jalur pejalan kaki (track ekowisata) sepanjang 750 meter, sehingga wisatawan bisa menimati jalan-jalan di sekitar mangrove. Di samping itu, RU VI Balongan juga kemudian mendampingi Kelompok Tani Jaka Kencana dari Desa Pabean Udik untuk melakukan pengembangan produk bernilai ekonomi dengan bahan baku mangrove. Sehingga wisatawan membawa oleh-oleh dari bahan dasar mangrove.

Menurut Ketua Kelompok Tani Jaka Kencana Ahmad Lutfi, awalnya kelompoknya hanya memproduksi sirup mangrove dan sekarang sudah melakukan uji coba sekitar 100 produk. Namun, yang sudah dijual dan mendapat ijin PIRT (Produk Industri Rumah Tangga) dalam bentuk olahan pangan sekitar 15 produk. Di antaranya sirup pidada, sari pidada, dodol pidada, kecap kerandang, kacang kerandang. Coklat pidada, peyek daun mangrove.

Berkat ketekunan dan komitmen kelompok ada dua penghargaan terkait pelestarian lingkungan yang telah diraih yakni: penghargaan penyelamatan lingkungan dari Bupati Indramayu dan Raksa Prasada  untuk kategori individu/kelompok masyarakat peduli lingkungan dari Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah , Provinsi Jawa Barat.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement