Senin 21 Nov 2016 16:37 WIB

70 Persen Kejahatan pada Anak Dilakukan Orang Terdekat

Rep: Umi Nur Fadhilah/ Red: Winda Destiana Putri
Kekerasan seksual terhadap anak (ilustrasi)
Foto: Republika/Mardiah
Kekerasan seksual terhadap anak (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dewan ECPAT Indonesia, Irwanto mengungkapkan 70 persen kekerasan dan kejahatan pada anak-anak dilakukan oleh orang terdekat. Banyak faktor yang menyebabkan terus terjadinya kekerasan dan kejahatan pada anak. Salah satunya, ia menjabarkan, adanya akses atau mengenal, sehingga mudah menjangkau anak korban.

"70 persen yang melakukan kekerasan dan kejahatan pada anak-anak adalah orang terdekat," kata dia dalam Konferensi Nasional Perlindungan Anak 2016 di Jakarta, Senin (21/11).

Sehingga, menurutnya, wajar apabila banyak yang beranggapan kurang aman membiarkan anak perempuan tinggal dalam multi generasi atau keluarga. Kendati, secara budaya mengatakan anak tersebut akan aman saja. "Misal saya punya anak perempuan, tiga adik laki-laki ada di rumah, mereka ikut mengasuh. Apakah itu aman? Tetapi kultur kita mengatakan aman," tutur Irwanto.

Ia menilai, masyarakat harus mulai mengubah sudut pandang tersebut. Sebab, asumsi itu yang biasa menjebak anak-anak. Ia juga meminta orang tua harus melatih anak-anak untuk paham terhadap 'sentuhan' dan melindungi diri sendiri. "Misal, kalau pamannya pegang, tapi di daerah tertentu, jangan mau, teriak saja," ujar dia.

Ia mengungkapkan hal-hal dasar yang perlu diketahui orang tua, seperti, pertama pengetahuan tentang risiko. Ia menyebut, salah satu yang memicu kejahatan seksual pada anak perempuan adalah pilihan pakaian. "Ibu senang lihat anaknya lucu, seksi, tapi bagi orang lain siapa tahu bisa merangsang," ujar dia. 

Kedua, ubah asumsi bahwa saudara terdekat itu aman. Ketiga, anak yang dititipkan belum tentu aman, apabila tidak banyak yang mengawasi. Keempat, apabila mengikuti pelajaran tambahan atau les di sebuah ruangan, jangan tutup pintunya.

Kelima, orang tua harus menanamkan pengetahuan menjaga diri pada anak, seperti berterian, melarikan diri, menendang. Pemahaman menjaga diri tersebut bukan berarti mengajarkan anak untuk bersikap kurang ajar. "Parameter budayanya harus diubah. Kan jamannya juga berubah," ujar dia.

Irwanto tidak menampik, kesadaran untuk melaporkan orang terdekat sebagai pelaku kekerasan dan kejahatan masih sangat rendah. Sehingga, ia meminta pihak kepolisian untuk aktif menjemput bola. "Ini kejahatan yang berlindung dibalik budaya, misalnya saya sebagai dosen bisa perintahkan apa saja pada murid, terlalu banyak otoritas pada laki-laki," tutur dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement