REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Sekjen (Wasekjen) Majelis Ulama Indonesia (MUI), Muhammad Zaitun Rasmin, menjamin aksi lanjutan Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) MUI pada 2 Desember 2016 mendatang merupakan aksi damai.
"Dari GNPF menjamin bahwa ini aksi damai, bahkan super damai," kata Zaitun dalam diskusi polemik akhir pekan bertajuk 'Ahok Effect' di Warung Daun, Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (19/11).
Menurutnya, aksi damai kembali dilanjutkan dengan tuntutan agar Mabes Polri segera menahan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Alasannya karena kasus dugaan penistaan agama yang menjerat Ahok ini sudah memenuhi unsur untuk dilakukan penahanan.
Diantaranya, pasal 156a KUHP yang ancaman hukumannya lima tahun penjara dan kekhawatiran bahwa Ahok akan mengulangi perbuatannya. "Sesuai KUHP dia dapat ditahan, yang kedua, bahwa agar tidak diulangi lagi, ini berpotensi, ternyata pada hari pertama ditetapkan tersangka, dia sudah mengulangi lagi," katanya.
Aksi tuntutan ini, kata Zaitun, telah direstui oleh MUI. MUI, katanya, menganjurkan tidak kembali unjuk rasa, namun tidak melarang juga. "Sedangkan presiden nggak melarang demo, apalagi MUI," kata Zaitun.
Ia juga menekankan aksi 2 Desember mendatang bukan dalam rangka mengintervensi proses penegakkan hukum kasus Ahok. Menurutnya, tuntutan ini sebagai aksi untuk mengawal proses hukum.
"Bukan seperti itu, intervensi hukum itu kalau kita langsung kepada penegak hukum, kalau kami punya kekuasaan, kita intervensi. Tapi, kalau menuntut, kita nggak, di luar KUHP," katanya.
Sebelumnya, seluruh komponen Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) MUI telah sepakat untuk menggelar aksi Bela Islam Jilid III pada 2 Desember 2016. Aksi tersebut dilakukan karena Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok sebagai tersangka penistaan agama tidak ditahan oleh Mabes Polri.
"Jadi aksi nanti di jalan Jenderal Sudirman. Pusatnya di bundaran HI, ke kanan sampai Patung Kuda itu shalat jumat. Ke kiri sampai semanggi, kita hanya fokus pada penahanan tersangka yang tuntutannya lima taun penjara," ujarnya.