REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) RI Komjen Pol Suhardi Alius mengajak seluruh lapisan masyarakat untuk mewaspadai berbagai dimensi yang bisa memecah belah persatuan bangsa. Dimensi tersebut merupakan efek berkembangnya globalisasi dan pembangunan bangsa.
Dalam paparan yang mengambil tema "Resonansi Kebangsaan dan Pencegahan Radikalisme", dijelaskan bahwa pembangunan bangsa melahirkan turbulensi yang bisa menghasilkan dua nilai, yaitu baik dan buruk. "Kalau baik tentunya akan bermanfaat bagi masyarakat banyak. Tetapi kalau buruk, maka akan menggerus nasionalisme,” ujar Suhardi dalam acara Gerakan Revolusi Mental Kementerian Pertanian (Kementan) Wilayah Bebas Korupsi (WBK) yang digelar Inspektorat Jenderal (Itjen) Kementan di kantor Kementan, Jakarta, Kamis (17/11).
Suhardi mengatakan, semangat momentum Sumpah Pemuda 1928 lalu telah menyatukan seluruh keragaman yang ada di Indonesia, di mana keanekaragaman suku, budaya tersebut saat ini telah tercabik-cabik.
"Semangat toleransi dikatakan hampir menghilang dengan banyaknya kasus-kasus intoleransi di Indonesia. Ini yang menyebabkan nilai-nilai Pancasila itu menjadi tereduksi. Dengan mereduksinya nilai-nilai Pancasila tentu ada sesuatu yang salah telah terjadi di Indonesia. Kalau ini tidak dirawat, belum tentu ada jaminan akan ada Republik ini dalam beberapa tahun ke depan,” ujar mantan Kabareskrim Polri ini.
Lebih lanjut Alumni Akpol tahun 1985 ini mengatakan bahwa, berbagai dimensi yang harus diwaspadai muncul dari semua sektor, meliputi dimensi geografi, demografi, sumber daya alam, hingga sektor ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, serta pertahanan dan keamanan.
Pria kelahiran Jakarta, 10 Mei 1962 ini juga menyoroti maraknya paham radikalisasi yang diwaspadai pada sisi ideologi. Paham ini merupakan ancaman krusial bagi negara. Sasaran utama penyebaran paham ini ialah generasi muda Indonesia.
"Derasnya arus informasi di dunia maya ini berdampak pada pesatnya penyebaran paham radikalisme di Indonesia. Karena selama ini banyak sekali informasi radikal dari dunia maya yang mudah diakses oleh semua kalangan, termasuk di antaranya anak-anak," ujarnya.
Dirinya juga menjelaskan bagaimana parahnya paham radikalisme dan terorisme masuk ke dalam ideologi-ideologi masyarakat terutama para generasi muda bangsa baik dari usia dini hingga dewasa. Untuk itu, berbagai pencegahan harus dilakukan agar menangkal masuknya ideologi yang menyimpang dari Pancasila.
“Saat ini, paham terorisme dan radikalisme terus berkembang di Indonesia dan hal ini dinilai sangat berbahaya. Peran dari masyarakat tentu sangat kami butuhkan dalam menangkal paham tersebut masuk terlalu dalam ke warga negara Indonesia. Pemahaman konsep jihad, khilafah dan takfiri yang keliru yang selalu digembor-gemborkan kelompok radikal menjadi tantangan bagi kita semua,” tutur Kepala BNPT.
Di hadapan pegawai di lingkungan Kementan tersebut pria yang pernah menjabat sebagai Sekretaris Utama Lembaga Ketahanan Nasional (Sestama Lemhanan) ini juga pun mengutip berbagai survei terkait penyebaran paham radikalisme di Indonesia.
Seperti survei yang dilakukan Harian Kompas tentang radikalisme di Jakarta. Dari 500 responden, ternyata 22 persen guru dan 21 persen murid menganggap bahwa Pancasila dianggap tidak relevan lagi. Intinya, radikalisme merupakan tantangan yang begitu kerasnya bagi nasionalisme kita ke depan.
"Kita menghadapi tantangan nasional, regional, dan global. Oleh sebab itu, sejak dini generasi muda harus mampu membentengi diri agar tidak terpapar unsur radikalisme, terutama kalangan mahasiswa sangat berpotensi menjadi sasaran," kata jenderal polisi tiga bintang itu
Selain itu survei dari Wahid Foundation pada tahun 2016 ini juga melaporkan sekitar 72 persen masyarakat Indonesia menolak radikalisme. Selain itu, sekitar 7,7 persen menyatakan berpartisipasi dalam radikalisme, dan 0,4 persen menyatakan pernah terlibat dalam kegiatan radikalisme. Survei tersebut menyasar pada responden 150 juta masyarakat Indonesia yang beragama Islam. Jika dikalkulasikan, maka nilai 7,7 persen tersebut setara dengan 11,5 juta jiwa. Sedangkan 0,4 persen setara dengan 600 ribu jiwa.