Jumat 11 Nov 2016 16:52 WIB

Pasutri Produsen Vaksin Palsu Jalani Sidang Perdana

Rep: Kabul Astuti/ Red: Angga Indrawan
Dokter menyuntikkan vaksin kepada balita yang terpapar vaksin palsu saat melakukan vaksinasi ulang, di rumah sakit Rawalumbu, Bekasi, Jawa Barat.
Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang
Dokter menyuntikkan vaksin kepada balita yang terpapar vaksin palsu saat melakukan vaksinasi ulang, di rumah sakit Rawalumbu, Bekasi, Jawa Barat.

REPUBLIKA.CO.ID, BEKASI -- Pasangan suami istri produsen vaksin palsu, Rita Agustina dan Hidayat Taufiqurrohman menjalani sidang perdana kasus vaksin palsu di Pengadilan Negeri Bekasi, Jawa Barat, Jumat (11/11) pukul 13.00 WIB. Mengenakan rompi tahanan berwarna oranye, pasangan yang beralamat di Perumahan Kemang Pratama Regency Rawalumbu Kota Bekasi ini tampak tertunduk menghindari sorotan kamera awak media.

Sidang perdana yang dipimpin oleh Hakim Ketua Marper Pandiangan ini digelar di ruang sidang Kartika Pengadilan Negeri Bekasi dengan agenda pembacaan dakwaan. Jaksa Penuntut Umum, Andi Adikawira Putera dalam dakwaannya, menyatakan pasangan suami istri ini sudah memproduksi vaksin palsu selama kurun waktu 2010-2016. Mereka meraup keuntungan sekitar Rp 30 - 40 juta per bulan dari penjualan vaksin palsu.

Adika menyatakan, Hidayat Taufiqurrohman diketahui mempunyai keahlian membuat vaksin palsu lantaran memiliki pengalaman di bidang farmasi. Ada lima jenis vaksin palsu yang diproduksi, yakni vaksin Pediacel, Tripacel, Engerix B, Havrix 720, dan Tuberculin.

Kedua pasutri bekerja sama membuat vaksin palsu di kediamannya di Perum Kemang Pratama. "Mereka memproduksi vaksin palsu di rumah. Satu tersangka yang membuat olahan, kemudian tersangka kedua atau istrinya yang membersihkan atau menyiapkan botol-botol bekas," ucap Andi Adikawira Putera, kepada Republika, Jumat (11/11).

Adika mengatakan, kelima jenis vaksin palsu tersebut mempunyai kandungan vaksin DT, vaksin TT, antibiotik, dan cairan Aquades. Bahan baku yang digunakan untuk meracik vaksin palsu ini tidak mempunyai ketentuan dari BPOM dan Kementerian Kesehatan. Menurut Adika, sterilisasi vaksin juga sangat diragukan.

Jaksa penuntut umum menuntut pasangan suami istri ini dengan pasal 196, 197, dan 198 UU RI No 36 Tahun 2009 tentang kesehatan dan pasal 8 ayat 1 huruf a jo pasal 62 ayat 1 UU No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dengan ancaman hukuman selama 15 tahun. Tersangka juga terancam dikenai Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), namun masih dalam penyelidikan.

"Alat bukti yang kami gunakan mesin cetak, mobil sebagai barang bukti, juga botol-botolnya tempat menyimpan vaksin palsu itu," kata Adika. Hasil uji laboratorium juga menjadi salah satu alat bukti. Jaksa penuntut umum berencana menghadirkan beberapa saksi ahli, termasuk BPOM dan Kementerian Kesehatan.

Kuasa hukum Rita dan Hidayat, Roosyan Umar, menyatakan kliennya tidak akan mengajukan keberatan (eksepsi). Terdakwa mengakui semua dakwaan yang dibacakan jaksa penuntut umum dan tidak ada unsur keberatan. Agenda sidang akan langsung dilanjutkan kepada pembuktian.

Akan tetapi, kuasa hukum meminta pengalihan tahanan rumah terhadap salah satu dari pasangan suami istri tersebut, terutama Rita Agustina. "Kami minta pengalihan tahanan kota atau tahanan rumah. Alasannya karena terdakwa ini punya anak dua, masih kecil-kecil, dan mereka ditahan suami istri. Sekarang ini anak-anaknya juga terlantar baik dari sekolah maupun lainnya," kata Roosyan Umar.

Kabul Astuti

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement