Sabtu 05 Nov 2016 11:12 WIB

Jusuf Kalla, Keadilan, Aksi 4 November: Ahok Tersangka?

Massa memadati kawasan bundaran air mancur saat aksi 4 November di Jakarta, Jumat (4/11).
Foto:
seorang wisatawan asing melakukan Swafoto ditengah aksi damai di Jakarta, Jumat (4/11).

Di satu lokasi ketika kampanye, Ahok bahkan diuber massa. Ia lalu diselamatkan lewat angkot. Siapa yang bisa menjamin, ke depan setelah 4 November hal itu tak kan terjadi lagi? Ini juga tak adil dan kasihan buat Ahok.

Dengan menjadi tersangka, toh Ahok belum tentu bersalah. Ia bisa membela diri di pengadilan. Namun status tersangka itu justru melindungi Ahok dari hukum jalanan dan hukum agama.

Dalam situasi seperti sekarang, para pendukung Ahok harus lebih terbuka mata. Kemarahan karena girah agama itu riel. Ini tak bisa dihadapi semata dengan mengajak berdebat soal tafsir. Biarlah nanti hakim yang memutuskan.

Keempat, dengan Ahok tersangka, isu gerakan bisa dikontrol. Sudah mulai ada isu yang mengalihkannya untuk turunkan Jokowi. Kaum minoritas sudah pula kwatir peristiwa 98 terulang kembali. Saat ini etnik Tionghoa menjadi sasaran amuk massa. Ada pula yang mengarahkannya untuk gerakan kembali ke UUD 45z

Kita tak ingin people power ini menjadi liar. Semua harus "kembali ke laptop." Akar masalahnya ada di Ahok. Kembali dan berakhir di Ahok saja.

Inilah pilihan sulit bagi kita sebagai bangsa. Membawa Ahok selaku mantan gubernur ke ranah hukum karena menista agama memang bukan hal yang harum. Namun jika itu tak dilakukan cepat dan segera akan jauh lebih buruk lagi buat kita semua.

Apalagi pasal yang potensial dilanggar memang ada: pasal 156 junto 156a KUHP.

Nah, dua belas jam setelah people power 4 November itu, kita bisa mengevaluasi plus minus gerakan baik dari sisi respon pemerintah, ataupun pelaku gerakan.

Yang positif, Jusuf Kalla sekali lagi terlihat leadershipnya. Pernyataannya bahwa kasus Ahok akan tuntas secara hukum paling lambat dalam waktu dua minggu, itu adalah respon yang sesuai dgn prinsip "the good governance": memberi kepastian dan sesuai dengan supremasi hukum.

Yang negatif: Jokowi selaku presiden rakyat terkesan tidak bersedia jumpa rakyatnya. Padahal selama ini Jokowi terkenal dengan blusukannya. Jika ingin menggusur ketika ia walikota Solo atau Gubernur Jakarta, ia jumpa dengan rakyatnya berkali kali. Rakyat terasa dimanusiakan.

Kini mengapa terbalik. Ratusan ribu rakyat datang ke istana. Ingin jumpa baik baik dengan presiden mereka secara damai. Jokowi malah menghilang dari istana dan memilih mengirim wakil.

Yang positif, sampai sholat magrib, people power ini berhasil menjadi gerakan tertib dan  damai. Murni dari sisi aksi demo, itu pencapaian luar biasa.

Yang negatif, sayangnya setelah magrib, pelan pelan terjadi kerusuhan di sana sini. Belum kita tahu secara persis siapa yang sesungguhnya memulai.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement