REPUBLIKA.CO.ID,BANDUNG -- Perhelatan Pekan Paralimpik Nasional (Peparnas) XV/2016 telah resmi ditutup, Senin (24/10). Tuan rumah Jawa Barat keluar sebagai juara umum perhelatan olahraga nasional tertinggi untuk penyandang disabilitas tersebut.
Suka-duka sepanjang Peparnas XV/2016 selama lebih dari sepekan telah terekam dalam berbagai lini pemberitaan media massa. Sambutan publik pun positif terhadap mereka yang selama ini dinilai berkebutuhan khusus namun nyatanya mampu menorehkan prestasi.
Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa mengatakan, Peparnas XV/2016 memang menjadi momentum untuk kesetaraan perlakuan terhadap penyandang disabilitas. Apalagi, UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas telah disahkan Maret silam dan menjadi pegangan pemerintah untuk melangkah dan menelurkan kebijakan-kebijakan mumpuni bagi kaum difabel.
"Tentu karena ini revisi dari yang sebelumnya, yaitu UU Nomor 4 Tahun 1997, jadi ada perbedaanya. Fokusnya ada penekanan mengenai pemenuhan hak-hak, kesetaraan, taraf pendidikan, lapangan pekerjaan, dan aspek-aspek lainnya," ujar Khofifah di Bandung, Jabar, kemarin. Menurut dia, apresiasi mutlak diberikan kepada penyandang disabilitas yang berprestasi pada Peparnas XV/2016.
Semisal dari sisi bonus yang sudah seyogianya disetarakan dengan pemenang Pekan Olahraga Nasional (PON) XIX/2016 lalu. "Hal tersebut bisa dimungkinkan. Namun, sesuai dengan kemampuan pemerintah daerah masing-masing. Karena akan disetarakan, ini menjadi apresiasi bagi mereka yang sudah menang di setiap cabang olahraganya baik PON ataupun Peparnas. Apresiasi ini sesuai kemampuan daerah, apakah akan juga mendapat apresiasi kesempatan bekerja, memiliki taraf pendidikan tinggi yang sama, bahkan bisa berdampak strategis bagi pemerintahan dan kehidupan kaum difabel," kata Khofifah menjelaskan.
Lebih lanjut, Khofifah menjelaskan, Peparnas XV/2016 dan kaum difabel memiliki keterkaitan. Dari Peparnas, masyarakat luas terutama mereka yang difabel, bisa termotivasi.
"Mereka yang difabel di sini bisa meraih juara kenapa yang lain tidak termotivasi. Tentu undang-undang nantinya juga bisa mengatur hak-hak kaum difabel yang lain. Tak hanya pesta olah raga tapi resonansi buat mereka saat pulang ke daerah masing-masing," ujar Khofifah. Berdasarkan data WHO, jumlah penyandang disabilitas mencapai 15 persen dari total penduduk.
Sedangkan Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan ada 6,9 juta penyandang disabilitas. Akan tetapi yang membutuhkan eksistensi penyandang cacat sebesar 1,8 juta.
Selama ini, banyak yang menganggap perhatian terhadap penyandang disabilitas masih kurang. Menanggapi hal ini, Khofifah menyebut salah satu penyebabnya.
Menurut dia, banyak keluarga yang belum mau mengakui kalau ada anggota keluarganya yang difabel. Padahal jika diungkap, maka bisa terdata dan diberikan penanganan dengan baik oleh pemerintah.
Koordinator Umum Bravo For Disabilities Bery Supratman menilai adanya UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas belum cukup. Sebab, beleid tersebut harus diikuti peraturan dan kebijakan lain seperti peraturan presiden, peraturan daerah maupun peraturan menteri.
"Biar implementasinya benar-benar tepat sasaran, tepat guna, dan tepat dirasakan oleh penyandang disabilitas. Soalnya pandangan kami sblm ada UU No 8/2016, ini masih jarang ada peraturan yang mengikat terkait penyandang disabilitas," kata Bery kepada Republika.
Kemudian, lanjut Bery, pemerintah juga harus melibatkan disabilitas dalam perencanaan dan pelaksanaan guna memenuhi hak-hak disabilitas. Sebagai contoh, masih banyak pemasangan guiding block (ubin pemandu tunanetra) di pedestrian-pedestrian yang masih belum tepat pemasangannya.
"Karena kami turun ke lapangan juga menemukan masih banyak yang salah dan keliru dalam pembuatannya. Contohnya seperti yang tadi saya sampaikan trotoar di Jakarta dimana ada guiding block yang ubinnya masih ada yang ditabraki ke pohon, tiang galian, dan sebagainya. Lalu ramp yang terlalu tinggi serta papan informasi yang kurang," ujar Bery menjelaskan.