Senin 24 Oct 2016 17:17 WIB

Eksekusi Mati Jadi Pekerjaan Serius Dua Tahun Pemerintahan Jokowi

Rep: Rahmat Fajar/ Red: Angga Indrawan
Hujan deras disertai angin kencang mewarnai proses persiapan eksekusi mati tahap tiga di Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah, pada Kamis (28/7) malam.
Foto: Republika/Eko Widiyatno
Hujan deras disertai angin kencang mewarnai proses persiapan eksekusi mati tahap tiga di Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah, pada Kamis (28/7) malam.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Setara Institue, Hendardi memberikan penilaian terhadap dua tahun kepemimpinan Jokowi-Jusuf Kalla. Hendardi menyoroti terkait hukuman mati sebagai isu krusial terutama jika dikaitkan dengan kinerja dan peran Jaksa Agung, HM Prasetyo.

Menurut Hendardi, eksekusi mati gelombang ketiga menyisahkan permasalahan serius. Hal tersebut diakibatkan kecerobohan yang dilakukan oleh Jaksa Agung dengan memberikan perintah eksekusi terhadap terpidana mati Seck Osmane dan Humprey Ejike Aweleke.

“Keduanya adalah warga negara Nigeria yang sedang mengajukan grasi untuk kedua kalinya,” ujar Hendardi dalam keterangan tertulisnya yang diterima Republika.co.id, Senin (24/10).

Perintah eksekusi mati yang dikeluarkan oleh Jaksa Agung, kata Hendardi, telah melanggar putusan Mahkamah Konstitusi No. 107/PUU-XIII/2015 yang menyebut grasi boleh diajukan lebih dari satu kali. Jaksa Agung juga dianggap melampau kewenangan presiden sebagai pihak yang dituju kedua terpidana mati tersebut untuk mengajukan grasi.

Sejak menjabat sebagaai Jaksa Agung, Prasetyo dinilai tidak memiliki banyak prestasi. Eksekusi mati, menurut Hendardi hanya untuk menutupi kelemahan kinerjanya dalam penegakan hukum, pemberantasan korupsi dan pelanggaran HAM.

“HM Prasetyo lolos dua kali dari episode perombakan kebinet karena seolah-olah bekerja menegakkan hukum, padahal hanya membangun citra tanpa subtansi,” kata Hendardi.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement