Senin 17 Oct 2016 18:54 WIB

Perambahan di Taman Nasional Leuser Dinilai Makin Parah

Rep: Issha Harruma/ Red: Dwi Murdaningsih
Salah satu sudut Taman Nasional Gunung Leuser, di Provinsi Sumatera Utara.
Foto: http://www.wisatanesia.com
Salah satu sudut Taman Nasional Gunung Leuser, di Provinsi Sumatera Utara.

REPUBLIKA.CO.ID, MEDAN -- Sejumlah organisasi pemerhati lingkungan meminta presiden Jokowi dan pemerintah pusat untuk menyelesaikan masalah perambahan kawasan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL). Perambahan kawasan TNGL dinilai semakin meluas dan mengancam ekosistem.

Jubir Koalisi Penyelamatan TNGL Panut Hadisiswoyo mengatakan, perambahan yang terjadi secara besar-besaran ini disebabkan pembukaan lahan untuk perkebunan dan permukiman warga.

"Perambahan terjadi secara masif sejak 1999 di mana kawasan yang dirambah hingga saat ini telah mencapai hampir 50 ribu hektare," kata Panut di Medan, Senin (17/10).

Panut menyebutkan, pada SK Menteri Kehutanan No. 276/Kpts-II/1997, tercantum luas kawasan TNGL yang berada di Aceh dan Sumut mencapai 1.094.692 hektare. Terjadi perubahan bentuk dan luas TNGL pada SK Menteri Kehutanan No. 6589/Menhut-VII/KUH/2014 yang diterbitkan pada 2014, yakni 838.872 hektare.

Menurut Panut, berkurangnya luas kawasan TNGL dalam surat keputusan menteri ini merupakan bentuk tekanan politik dari pemerintah pusat. Kawasan yang tidak lagi masuk dalam TNGL dijadikan hutan lindung dan menjadi kewenangan pemerintah daerah.

Data Koalisi Penyelamat TNGL menunjukkan, dari 838.872 hektare lahan TNGL, ada hampir 50 ribu hektare yang dirambah. Sebanyak 30 ribu hektare merupakan kawasan TNGL di provinsi Sumut, sementara 20 ribu lagi di Aceh.

"Angka ini cukup besar karena hampir 5 persen dari total luas TNGL. Kalau pemerintah tetap diam, jumlah ini akan terus bertambah. Jadi sekarang, bagaimana caranya merelokasi perambah dan mengembalikan fungsi hutan yang rusak," kata Panut.

Menurut Panut, tekanan terbesar terhadap TNGL datang dari perkebunan dan permukiman warga yang berada di dalam kawasan. Selain itu, penebangan pohon secara liar, pembakaran hutan untuk membuka lahan dan perburuan satwa liar juga menjadi penyebab rusaknya kawasan dan ekosistem TNGL.

Pihaknya pun menuding ada mafia-mafia tanah yang terus bergerak merambah kawasan TNGL. Mereka mengiming-imingi masyarakat untuk menggarap lahan TNGL dengan harga dan investasi yang murah. Perambah pun kemudian memanen hasil dari pembukaan lahan, sementara warga sekitar yang harus menanggung dampak dari pembukaan lahan TNGL.

"Padahal kawasan ini adalah penyanggah kehidupan. Ada sumber air yang sangat dibutuhkan dan keberlangsungan hidup satwa langka. Bila berubah yang rugi adalah masyarakat. Kita tidak bicara soal ekologi saja tapi ekonomi dan sosial budaya masyarakat," kata dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement