Rabu 12 Oct 2016 13:29 WIB

Strategi Pembebasan Sandera Abu Sayyaf Sebaiknya tidak Diekspos

Rep: Qommarria Rostanti/ Red: Esthi Maharani
Panglima TNI Gatot Nurmantyo bersama Menteri Luar Negeri Retno Marsudi memberikan keterangan pers terkait pembebasan tiga sandera kelompok Abu Sayyaf dan kasus calon jemaah haji via filipina di Kantor Panglima TNI, Jakarta Pusat, Ahad (2/10).
Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang
Panglima TNI Gatot Nurmantyo bersama Menteri Luar Negeri Retno Marsudi memberikan keterangan pers terkait pembebasan tiga sandera kelompok Abu Sayyaf dan kasus calon jemaah haji via filipina di Kantor Panglima TNI, Jakarta Pusat, Ahad (2/10).

REPUBLIKA.CO.ID,‎ JAKARTA -- Langkah senyap yang selama ini ditempuh oleh pemerintah dalam upaya pembebasan sandera terbukti cukup efektif berhasil membebaskan para sandera. Ini juga perlu dilanjutkan untuk membebaskan dua warga negara Indonesia (WNI) yang masih berada di tangan kelompok Abu Sayyaf.

"Akan sangat bijak jika seorang Menhan RI Ryamizard Ryacudu tidak mengekspos langkah-langkah tersebut," ujar pengamat terorisme Harits Abu Ulya, Rabu (12/10).

Dia mengatakan langkah senyap tersebut tidak lain adalah pendekatan informal di luar langkah-langkah yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia maupun Filipina. Menhan juga sebaiknya tidak memberikan harapan berlebihan kepada pihak keluarga WNI yang tersandera bahwa dalam waktu dekat ini akan segera bebas.

Hal tersebut dinilainya tidak terlalu mendesak. Realitas di lapangan, kata Harits, sangat dinamis, banyak faktor yang saling terkait berpengaruh langsung pada proses pembebasan. Artinya pembebasan bisa lebih cepat atau bahkan lebih lambat dari ekspektasi seorang Menhan.

"Yang tepat adalah biarkan dan beri kesempatan tim yang selama ini bekerja sejak beberapa bulan lalu dengan cara silent untuk menuntaskan amanah yang ada di pundaknya," kata dia.  

Harits melihat dari monitoring juga terbaca pendekatan informal yang selama ini dilakukan adalah dengan memanfaatkan eksistensi Moro National Liberation Front (MNLF) melalui sosok Nur Missuari sebagai tokoh kuncinya. Sementara realitas aktual di lapangan posisi MNLF pimpinan Nur Missuari juga masih menjadi polemik bagi pemerintah Filipina.

Surat perintah penangkapan atau status buronan (warrant of arrest) masih melekat pada diri Nur Missuari pasca peristiwa Zamboanga Siege pada 2013. Bedanya saat ini dengan Abu Sayyaf,  MNLF tidak angkat senjata perang melawan pemerintah pusat Filipina dan saat ini Presiden Rodriguez Duterte berupaya merangkul Nur Missuari.

Menurut Harits, dengan realitas tersebut maka akan sangat kontraproduktif jika ada upaya-upaya dari pihak pemerintah atau yang mengatasnamakan pemerintah Indonesia siapapun dia mengekspos pendekatan informal tersebut ke permukaan. Pasalnya  hal ni potensial kontraproduktif terhadap hubungan baik Indonesia-Filipina.

Dari sumber internal di MNLF, muncul informasi yang perlu dicermati yaitu munculnya sosok-sosok yang menumpang di tengah upaya pembebasan dua WNI yang masih disandera. Yakni adanya pihak-pihak yang mengatasnamakan perwakilan atau utusan pejabat pemerintah RI menemui Nur Missuari. Substansi pembicaraan ingin terlibat proses pembebasan para sandera.

"Penelusuran lebih jauh, sosok person yang mengaku pejabat selevel Deputy Of Minister di hadapan MNLF ini ternyata orang sipil dan bukan pejabat pemerintah RI," kata Harits.

Dia menduga orang itu berpotensi Ingin mengambil keuntungan dari kasus penyanderaan yang saat ini sedang terjadi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement