Rabu 05 Oct 2016 16:01 WIB

3M, Kunci Kemenangan dalam Pilgub DKI Jakarta 2017

Red: M.Iqbal
Hasanuddin Ali, CEO and Founder Alvara Research Center
Foto: Dokpri
Hasanuddin Ali, CEO and Founder Alvara Research Center

REPUBLIKA.CO.ID,

Oleh Hasanuddin Ali, CEO and Founder Alvara Research Center

Tercatat terdapat 101 daerah yang akan menyelenggarakan pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak pada 2017. Namun, hanya pemilihan gubernur (pilgub) DKI Jakarta yang mampu menyedot perhatian publik begitu luas. 

Bukan hanya karena letaknya yang strategis sebagai ibu kota negara, Pilgub DKI Jakarta dipandang publik sebagai pertarungan "antara" menuju pemilu legislatif dan pemilu presiden 2019. Pemilu 2019 memang masih jauh. 

Tapi, melihat bagaimana proses tarik-ulur yang menegangkan dalam penentuan siapa kandidat yang akan bertarung di Pilgub DKI Jakarta, kita bisa memaklumi pandangan tersebut. Pilgub kali ini memang bisa menjadi barometer politik Indonesia masa depan. 

Masyarakat Jakarta yang heterogen, di mana semua entitas penduduk Indonesia bertemu dan berkumpul, menjadi ukurannya. Dalam Pilgub DKI Jakarta ini, saya berpandangan, tanpa menafikan faktor lain, ada tiga entitas pemilih yang akan sangat menentukan keterpilihan seorang kandidat menjadi gubernur Jakarta berikutnya.

Tiga entitas itu saya menyebutnya 3M. 3M itu adalah pemilih millennial, pemilih middle class, dan pemilih muslim.

Pemilih millennial

Generasi millennial atau juga biasa dikenal sebagai Generasi Y adalah generasi yang lahir tahun 1981 – 1999. Berarti saat ini mereka adalah pemilih yang berusia 17-35 tahun. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk Jakarta yang dalam rentang usia 17-35 tahun ini sebesar 38,12 persen.

Karakteristik yang menonjol dari pemilih millennial adalah mereka yang cenderung bukan pemilih ideologis. Dalam kajian yang dilakukan oleh Alvara Research Center 2012, pemilih dalam rentang usia muda memiliki sikap politik yang cenderung apatis dan banyak diantara mereka yang swing voters. Mereka juga cenderung tidak memiliki tingkat loyalitas yang tinggi terhadap partai

Pemilih middle class

Jakarta adalah provinsi dengan tingkat pendapatan per kapita tertinggi di Indonesia. Pada 2014 tercatat pendapatan perkapita ibu kota sebesar Rp 174,824 juta per tahun. 

Nilai tersebut jauh di atas pendapatan per kapita nasional yang hanya sebesar Rp 42,432 juta per tahun. Bila dibandingkan provinsi-provinsi lain, pendapatan per kapita Jakarta hanya bisa disaingi oleh Kalimantan Timur dan Riau, kedua provinsi ini juga memiliki pendapatan perkapita di atas Rp 100 juta per tahun.

Bahkan kalau dibandingkan dengan provinsi-provinsi di Jawa, pendapatan per kapita Jakarta jauh lebih tinggi. Provinsi-provinsi di Jawa pendapatan per kapitanya tidak ada yang lebih besar dari Rp 50 juta per tahun.

Karena itu tidak salah bila dikatakan penduduk Jakarta memiliki kelas menengah yang sangat dominan. Berbicara kelas menengah, kita tidak bicara hanya soal kemampuan daya beli saja yang tinggi, tapi juga bicara soal perubahan pola pikir, nilai-nilai, dan perilaku. Kelas menengah juga merupakan pemilih yang kritis dan rasional dalam menentukan pilihannya.

Pemilih muslim

Menurut Sensus Penduduk BPS tahun 2010, penduduk muslim di Jakarta 85,36 persen. Jika diperinci, secara proporsi paling besar ada di Jakarta Selatan, terendah ada di Jakarta Barat dan Utara. 

Jumlah tersebut tergolong besar untuk diperebutkan tiga pasang bakal calon gubernur DKI Jakarta. Dalam kancah politik pemilu, partai-partai berbasis massa islam juga memiliki sejarah menjadi pemenang di DKI Jakarta. 

PPP di era orde baru selalu menjadi pemenang di Jakarta, kecuali pemilu 1997. Pascareformasi, PKS juga pernah menjadi jawara di Jakarta.

Menarik bila kita melihat basis dukungan ketiga bakal calon gubernur DKI Jakarta. Partai pendukung Ahok-Djarot semuanya partai nasionalis (PDI Perjuangan, Golkar, Nasdem, dan Hanura). Sementara dua kandidat lainnya didukung oleh kombinasi partai nasionalis dan partai berbasis massa islam. 

Anies-Sandi didukung Gerindra-PKS, sedangkan Agus-Sylvi didukung oleh Demokrat-PPP-PKB-PAN. Secara sederhana, kalau kita bagi segmen pemilih muslim menjadi tiga segmen, pemilih konservatif, moderat, liberal/sekuler, maka dari beberapa kecenderungan kita bisa melihat pemilih konservatif hampir dipastikan tidak akan memilih Ahok. 

Di Jakarta pemilih konservatif ini berada pada kisaran 20an persen. Sebaliknya, pendukung utama Ahok adalah muslim sekuler.

Lalu dimana posisi muslim moderat? Secara jumlah muslim moderat adalah yang terbesar di Indonesia dan juga di Jakarta. Saya kira muslim moderatlah yang menjadi bandul yang menentukan siapa yang akan terpilih menjadi gubernur DKI Jakarta.

Lalu, bagaimana tiga entitas 3M bila dikaitkan dengan tiga kandidat Gubernur DKI Jakarta? Saya mencoba melakukan hypothetical analysis secara subyektif berdasarkan informasi yang sekarang beredar saat ini, maka kekuatan tiga kandidat itu ternyata cukup merata dan saling mengisi di setiap tiga entitas tersebut. 

Pasangan Ahok-Djarot memiliki keunggulan di pemilih kelas menengah, tapi lemah di pemilih muslim. Pasangan Anies–Sandi unggul di pemilih muslim, tapi lemah di pemilih millennial. Sementara pasangan Agus–Sylvi unggul di pemilih millennial, tapi lemah di pemilih kelas menengah.

Melihat konstelasi di atas maka bisa kita katakan saat ini terlalu dini untuk bisa menyimpulkan siapa yang akan menjadi pemenang di Pilgub Jakarta 2017. Dinamika pergeseran suara menjelang hari pemilihan akan sangat dinamis sekali tergantung kelihaian masing-masing kandidat dan timsesnya dalam memengaruhi tiga entitas 3M tadi. Dan tentunya pilgub DKI Jakarta kali ini akan semakin mendebarkan dan sangat menarik untuk dinikmati.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement