REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sosiolog Universitas Mulawarman, Saroso Hamung Pranoto, mengatakan meningkatnya tren perceraian terjadi sejak sepuluh tahun terakhir. Tingginya angka perceraian dapat berdampak negatif bagi kualitas manusia Indonesia secara jangka panjang.
"Meningkatnya perceraian karena semakin banyak pernikahan usia dini pada remaja. Karena belum siap secara mental, mereka rentan memutuskan perceraian setelah menikah. Ini juga berlaku bagi pasangan muda yang belum menikah," ujar Saroso ketika dikonfirmasi Republika, Selasa (4/10).
Dalam kasus pernikahan remaja, pasangan terpaksa menikah untuk mempertanggungjawabkan kehamilan yang tidak diinginkan. Sementara itu, pada kasus pasangan yang menikah di usia muda dipengaruhi budaya yang masih kuat di mana para orangtua sering menekan anaknya untuk segera menikah. Karena tidak siap menerima sulitnya kondisi ekonomi, para pasangan muda memilih percerian sebagai jalan keluar. Padahal, para pasangan muda ini telah memiliki keturunan.
"Akibat perceraian adalah kondisi psikologis yang tidak stabil pada orangtua. Dampaknya, pola pengasuhan terhadap anak pun terganggu. Padahal, anak membutuhkan kondisi yang kondusif dalam proses tumbuh kembang," tutur dia.
Secara jangka panjang, kondisi ini dapat menurunkan kualitas manusia Indonesia. Sebab, generasi muda yang semestinya dapat tumbuh maksimal berpotensi menjadi generasi yang tidak sehat secara psikologis maupun fisik.