Kamis 29 Sep 2016 09:56 WIB

Buzzer Politik, Masa Depan Demokrasi, dan Potret Buram Pilkada DKI Jakarta

Maskot Pilkada DKI Jakarta diperlihatkan usai peluncuran saat Konsolidasi Akbar Penyelenggara Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta Tahun 2017 di Jakarta, Sabtu (30\7).
Foto: Tahta Aidilla/Republika
Maskot Pilkada DKI Jakarta diperlihatkan usai peluncuran saat Konsolidasi Akbar Penyelenggara Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta Tahun 2017 di Jakarta, Sabtu (30\7).

Buzzer Politik, Pertaruhan Demokrasi, dan Potret Buram Pilkada DKI Jakarta

Oleh: Dr Iswandi Syahputra, Dosen Ilmu Komunikasi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Tidak lama setelah Soesilo Bambang Yudhoyono mengumumkan putranya, Agus Harimurti Yudhoyono, dan Sylviana Murni, menyusul kemudian Prabowo Subianto mengusung Anis Baswedan dan Sandiaga Uno, masing-masing sebagai pasangan calon gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta, dunia media sosial, terutama Twitter,  dipenuhi oleh buzzer dan bot politik. Kelompok ini sangat lihai dan mahir mengelola kebohongan dan berbagai kebodohan sebagai isu publik melalui media sosial. Tanpa disadari, keriuhan dan aktivitas massif para buzzer dan bot politik tersebut sesungguhnya telah mencederai demokrasi digital. Perdebatan dangkal antar-buzzer yang masing-masing menggunakan teknik black propaganda bukan saja merugikan publik, tetapi mengancam masa depan demokrasi yang mengarah pada demokrasi penuh caci maki. Tulisan ini akan mengulas fenomena buzzer dan masa depan demokrasi dalam Pilkada DKI Jakarta.

Istilah buzzer dapat mengacu pada konsep buzz marketing, yaitu aktivitas atau kegiatan pemasaran suatu produk pada saluran media komunikasi untuk menciptakan gangguan. Gangguan tersebut ditujukan pada kompetitor untuk menarik target audience. Buzzer inilah yang akan melempar isu di media sosial, terutama Twitter, sehingga menjadi perbincangan luas khalayak (viral). Agar sebuah tweet menjadi viral, biasanya akun Twitter yang  menjadi buzzer didukung oleh puluhan bahkan ratusan akun robot (dikenal dengan akun bot, yang dibuat untuk pekerjaan otomatis seperti retweet). Atau sesama akun Twitter yang menjadi buzzer tersebut saling sahut menyahut tentang suatu isu yang sedang diperbincangkan.

Di Indonesia, fenomena buzzer ini mulai marak sejak media sosial seperti Twitter pada tahun 2009 dinilai berhasil menggalang gerakan sosial melalui hashtag #Indonesiaunite untuk melawan teror bom di Mega Kuningan, Jakarta. Hingga kemudian, sejumlah brand produk ternama melirik buzzer sebagai salah satu strategi pemasaran produknya. Pada gilirannya, media sosial turut mempengaruhi berbagai dinamika politik domestik.

Pada sejumlah negara, seperti Spanyol, sejumlah aktivis media sosial mampu mengerakkan warga  untuk tidak lagi memberikan suara mereka pada partai besar. Sebabnya, partai besar tersebut telah mengeluarkan RUU tentang Copyright karena adanya tekanan dari Amerika Serikat (John Postill, 2014). Di Indonesia, riset yang dilakukan Yanuar Nugroho dan Sofie Shinta Syarif (2012) tentang cara yang digunakan untuk mengakses media sosial dalam mempengaruhi proses politik menemukan bahwa teknologi memang menjadi platform yang potensial bagi warga untuk terlibat dalam politik. Penggunaan internet dan media sosial berpotensi membantu masyarakat sipil tidak hanya untuk menyebarkan isu-isu untuk mendapatkan perhatian publik yang lebih luas, tetapi juga untuk mempersiapkan kondisi untuk aksi lebih lanjut.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement