REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bencana banjir bandang yang terjadi di Garut, Jawa Barat, dinilai sebagai salah satu potret masih buruknya pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) Cimanuk. Dampak banjir bandang hingga Jumat (23/9) siang terdapat 27 jiwa tewas, 22 hilang, luka 32, dan mengungsi 433 jiwa, sedangkan kerusakan rumah adalah rumah rusak berat 154 unit, rusak sedang 19, rusak ringan 33, terendam 398, dan hanyut 347.
Banjir dan longsor dari tahun ke tahun terus meningkat. Meningkatnya banjir dan longsor tersebut tidak lepas dari faktor alam dan manusia. Faktor alam adalah pengaruh perubahan iklim global yang menyebabkan dapur massa uap air bertambah sehingga menjadikan cuaca ektrem makin sering terjadi.
Faktor manusia adalah degradasi lingkungan dan tingginya kerentanan sehingga risiko bencana juga meningkat. "Faktor manusia ini yang lebih dominan menyebabkan banjir dan longsor dibandingkan alam. Banjir dan longsor sesungguhnya tidak lepas dari imbas kerusakan DAS," ujar Kepala Pusat Data, Informasi, dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho, Jumat (23/9).
Saat ini, kerusakan DAS di Indonesia sangat luar biasa. Dari 450 DAS di Indonesia, 118 DAS dalam kondisi kritis. Jika pada tahun 1984 hanya terdapat 22 DAS kritis dan superkritis, maka tahun 1992 meningkat menjadi 29 DAS, 1994 menjadi 39 DAS, 1998 menjadi 42 DAS, 2000 menjadi 58 DAS, tahun 2002 menjadi 60 DAS, dan tahun 2007 sekitar 80 DAS yang rusak superkritis dan kritis. DAS Cimanuk sudah tergolong kritis sejak 1984. Kondisinya makin rusak akibat intervensi manusia yang makin masif merusak DAS.
Sutopo menyebut respons dari kerusakan DAS tersebut adalah semakin sensitifnya lingkungan terhadap komponen yang ada dalam sistem lingkungan. Ketika hujan mudah banjir dan longsor, namun sebaliknya ketika kemarau demikian mudahnya terjadi kekeringan.
Upaya pengelolaan DAS terus dilakukan. Namun ternyata hasilnya belum signifikan. Buktinya degradasi DAS juga terus menigkat. Dampak yang ditimbulkan pun terus meningkat. Banjir, longsor, erosi, sedimentasi dan daya dukung serta daya tampung lingkungan terlampaui. "Ada sesuatu yang salah, namun selalu tidak ada solusi permanen dan jangka panjang. Saat terjadi bencana, semua pihak baru ingat bahwa bencana timbul disebabkan kerusakan DAS," kata dia.
Menurut Sutopo, memang pengelolaan DAS sifatnya menyeluruh, multidisiplin dan lintas sektor. Harus diakui pengelolaan DAS bukan sesuatu yang mudah mengingat variabilitas ruang dan waktu yang besar.
Namun juga bukan sesuatu yang sulit untuk dilakukan jika ada komitmen pemerintah, pemda, dunia usaha dan masyarakat yang kuat dan konsisten untuk melakukannya. "Jika tidak, maka banjir bandang di Garut dapat juga terjadi dengan mudah di daerah lain yang memang kondisi DAS-nya sudah rusak," ujarnya.