REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti senior The Indonesa Public Institute (IPI) Karyono Wibowo mengatakan dinasti politik yang kemungkinan masih akan terjadi di beberapa daerah pada saat pemilihan kepala daerah serentak perlu diwaspadai.
"Dinasti politik berpotensi menimbulkan 'kongkalikong' dalam penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan politik maupun bisnis yang ujung-ujungnya bisa terjadi kartelisasi," kata Karyono dihubungi di Jakarta, Rabu (21/9).
Karyono mengatakan politik dinasti telah dihalalkan oleh putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 33/PUU-XIII/2015 sehingga tidak ada larangan bagi keluarga kepala daerah yang sedang menjabat di daerah tertentu untuk mencalonkan diri dalam pemilihan kepala daerah.
Dalam mengeluarkan keputusan itu, MK berpendapat larangan bagi keluarga tertentu untu mencalonkan diri sebagai kepala daerah bertentangan dengan Pasal 28 J Ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945.
"Putusan MK itu memang menimbulkan dilema. Di satu sisi, putusan MK melegalkan dinasti politik, sementara di sisi lain masih ada pro dan kontra mengenai hal itu di tengah masyarakat," tuturnya.
Karyono mengatakan pihak-pihak yang menolak dinasti politik memang memiliki alasan yang cukup kuat, antara lain berpotensi menghambat hak-hak publik atau menghambat orang lain untuk menjadi kepala daerah atau menduduki posisi di pemerintahan.
"Hal itu berpeluang terjadi apabila cara mendapatkan kedudukan atau posisi kekuasaan tersebut dilakukan dengan cara yang tidak adil," ujarnya.
Politik dinasti juga berpeluang menyalahgunakan wewenang dengan menggunakan fasilitas negara dan menggunakan pengaruh kekuasaan yang dimiliki oleh seseorang atau kelompok yang merupakan bagian dari dinasti yang sedang berkuasa untuk mendapatkan kursi kekuasaan.
"Dalam kondisi seperti ini, yang menjadi tantangan adalah bagaimana membuat peraturan yang memenuhi rasa keadilan dan penegakan hukum yang benar-benar bisa mencegah penyimpangan, penyalahgunaan wewenang dan 'kongkalikong' yang hanya menguntungkan dinasti politik," katanya.