REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Gejolak penolakan kepemimpinan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), semakin terdengar kencang. Berbagai isu mulai menghantam Ahok, mulai dari ajakan bagi para Muslim tidak memilih Ahok, agenda reklamasi, penggusuran, hingga beberapa kasus korupsi lain yang menyeret nama Ahok.
Bagi Nadhatul Ulama (NU), menolak Ahok karena dia bukan non-Muslim adalah tindakan yang tidak pas. "Bagi kami, menolak Ahok adalah karena dia tidak pro terhadap rakyat kecil. Penggusuran dengan dalih relokasi adalah contoh kongkretnya," ujar koordinator Gerakan Kebangkitan Aspirasi Warga Jakarta (Gerbang Aswaja) Husny, Senin (19/9).
Meskipun begitu, kata dia, penolakan Muslim terhadap Ahok dapat dimaklumi sebagai sebuah dinamika dan luasnya khazanah penafsiran terhadap teks agama tentang memilih seorang pemimpin.
"Sekali lagi kita ingin menyampaikan bahwa penolakan kami terhadap Ahok itu bukan karena dia non-muslim. Masalah kemudian jika banyak ulama dan orang Islam di Jakarta yang menolak Ahok karena hal itu, silakan saja," kata Wakil Sekretaris Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) DKI Jakarta ini.
Menurut Husny, sikap Nahdlatul Ulama dalam memilih pemimpin bisa mengacu pada hasil Muktamar 1999 di Lirboyo, Kediri, Jawa Timur. Saat itu, ulama merumuskan, salah satu syarat dibolehkannya memilih pemimpin non-Muslim adalah apabila tidak adanya calon pemimpin Muslim yang adil.
Hukumnya menjadi darurat yakni memilih non-Muslim karena paksaan keadaan maka dibolehkan. Namun menurut dia, selama masih ada calon pemimpin Muslim yang adil, cakap dalam pemerintahan, pro rakyat kecil, santun, tidak suka marah-marah, ''Maka, sebaiknya tidak memilih calon petahana,'' kata Husny mengingatkan.