REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Terkait usulan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menambahkan biaya sosial bagi terpidana korupsi, Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tidak keberatan. Hanya saja usulan pemberatan hukuman para terpidana tersebut harus melalui mekanisme berupa revisi Undang-Undang.
Menurut anggota Komisi III, Risa Mariska, revisi UU dilakukan agar usulan tersebut ingin diberlakukan. Usulan denda biaya sosial didengungkan KPK untuk membuat jera para koruptor.
Dengan demikian, kalau KPK menginginkan adanya sanksi tambahan, salah satunya dengan membebankan biaya sosial maka harus ada revisi UU terlebih dulu. Saat ini sudah ada Undang-Undang yang mengatur mengenai sanksi pidana korupsi, yaitu UU nomor 31 tahun 1999, tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.
"Tidak bisa langsung diterapkan kepada para pidana, harus ada revisi dulu. Mulai dar4i masa tahanannya berapa tahun, dendanya berapa, itu direvisi dulu. Kalau tidak direvisi tidak bisa," jelas politikus asal Partai Demokrasi Perjuangan (PDIP), di Komp0lek Parlemen, Rabu (14/9).
Sebelumnya lembaga anti risywah itu mengusulkan agar terpidana kasus korupsi selain hukuman kurungan dan denda juga dikenai beban membayar biaya sosial. Usulan tersebut muncul setelah hukuman yang diterima para koruptor semakin ringan bahkan sampai hanya 2 tahun 1 bulan. Adapun perhitungan biaya sosial korupsi yang dikaji KPK terdiri dari biaya eksplisit dan biaya implisit. Maka dengan adanya penghitungan biaya sosial korupsi, koruptor dapat dituntut lebih tinggi, serta membuat mereka kapok untuk melakukan korupsi.